Newsletter

Harpitnas Boleh, Lengah Jangan

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 February 2019 05:50
Harpitnas Boleh, Lengah Jangan
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak menguat pada perdagangan pekan lalu. Bahkan penguatannya cukup impresif. 

Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHS) menguat 0,86% secara point-to-point. Pada perdagangan akhir pekan, IHSG ditutup di 6.538,64 poin yang merupakan pencapaian terbaik sejak 5 Maret 2018. 


Tidak hanya IHSG, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pun menguat. Selama minggu kemarin, rupiah terapresiasi signifikan 1,03% secara point-to-point. Kala penutupan pasar spot akhir pekan lalu, US$ 1 dibanderol Rp 13.935 di mana rupiah menyentuh titik terkuat sejak 19 Juni 2018. 


Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah juga turun, yang mendakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar. Sepanjang pekan kemarin, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun drastis 101,2 basis poin (bps).

Indonesia dan pasar keuangan Asia menikmati berkah dari hawa damai dagang AS-China. pada 30-31 Januari, Wakil Perdana Menteri China Liu He bertandang ke Washington untuk melakukan pertemuan dagang dengan delegasi AS yang dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. 

Sesaat sebelum pertemuan, penegak hukum AS resmi mengajukan tuntutan kepada perusahaan raksasa teknologi asal China, Huawei. Perusahaan tersebut dituding melakukan hubungan bisnis dengan Iran (yang sedang dalam sanksi AS), dan melakukan pencurian teknologi robotik milik T-Mobile. 

Namun Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menegaskan bahwa kasus Huawei adalah hal yang berbeda dengan dialog perdagangan. Dialog dagang tetap akan berjalan meski ada kasus tersebut. 

Selain itu, China juga sepertinya semakin berusaha untuk kooperatif dengan permintaan AS. Xinhua memberitakan, seperti dikutip Reuters, parlemen China akan membahas regulasi baru yang melarang pemaksaan atau kewajiban transfer teknologi bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Negeri Tirai Bambu. Aturan ini juga akan melarang intervensi pemerintah yang berlebihan dalam investasi asing. 

Isu tersebut sudah lama disuarakan oleh AS. Pemerintahan Presiden Donald Trump kerap kali mengkritik praktik investasi di China, yang mengharuskan investor asing melakukan transfer teknologi kepada perusahaan lokal. Perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, itu yang selalu ditekankan oleh Negeri Paman Sam. 

Didorong oleh harapan damai dagang AS-China, pasar keuangan Asia pun melesat. Pasar keuangan Indonesia bahkan mengukirkan prestasi yang mengesankan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat tajam pada pekan lalu. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,3%, S&P 500 melejit 1,6%, dan Nasdaq Composite melambung 1,4%. 

Sementara pada perdagangan akhir pekan lalu, DJIA naik 0,26%, S&P 500 menguat tipis 0,09%, tetapi Nasdaq melemah 0,25%. Laju bursa saham New York agak terbeban karena proyeksi kinerja Amazon yang kurang menggembirakan. 

Pada kuartal IV-2018, sebenarnya kinerja Amazon masih ciamik dengan membukukan penjualan bersih US$ 72,38 miliar. Cukup jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 71,87 miliar. Tingginya penjualan kala Black Friday menjadi penyebab performa yang baik ini. 

Namun pada kuartal I-2019, situasinya akan berbeda dengan penjualan bersih diperkirakan di kisaran US$ 56-60 miliar. Di bawah konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 60,77 miliar. 

Proyeksi tersebut menyebabkan saham Amazon dilanda aksi jual. Kala penutupan pasar, harga saham Amazon anjlok 5,38%. 

Penurunan saham Amazon menyeret saham-saham peritel lainnya ke zona merah. Saham Walmart ambrol 2,06%, Costco amblas 2,03%, dan Target terperosok 2,51%. 

Meski demikian, DJIA dan S&P 500 masih mampu bertahan di zona hijau karena rilis data ekonomi AS yang lebih baik dari perkiraan. Akhir pekan lalu, Kementerian Ketenagakerjaan AS mengumumkan penciptaan lapangan kerja pada Januari 2019 adalah 304.000. Lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan tambahan 165.000. 

"Laporan ini menyebutkan bahwa orang-orang kembali bekerja. Konsumen harus kuat, dan jika konsumen memiliki pekerjaan maka mereka akan tetap kuat," tutur Tom Martin, Senior Portfolio Manager di GlobalAlt Investment yang berbasis di Atlanta, mengutip Reuters. 

Data ini memperkuat rilis sebelumnya yaitu Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi ISM yang melompat dari 54,3 pada Desember 2018 menjadi 56,6 pada Januari 2019. Artinya, ada harapan bahwa kinerja ekonomi AS masih akan kuat meski ada perlambatan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah hasil dialog dagang AS-China di Washington yang agak mixed. Ini bisa menciptakan kegalauan di pasar, seperti yang terjadi pada akhir pekan lalu. 

Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyebutkan perundingan berjalan baik dan arahnya positif. Bahkan dia mengungkapkan China akan kembali membeli kedelai AS setidaknya 1 juta ton dalam waktu dekat. Seorang pejabat pemerintah AS kemudian menyebutkan jumlahnya bisa mencapai 5 juta ton. 

Usai dialog di Washington, Lighthizer dan Mnuchin dijadwalkan untuk berkunjung ke Beijing pada pertengahan bulan ini. Pertemuan ini semakin melapangkan jalan menuju damai dagang.   

Presiden Trump juga menebarkan optimisme bahwa Washington dan Beijing akan dapat mencapai sebuah kesepakatan yang bersejarah. Dia menyebutkan bahwa China siap untuk lebih membuka perekonomiannya. "China akan membuka pasarnya, tidak hanya di sektor keuangan tetapi juga manufaktur, pertanian, dan berbagai industri," cuitnya di Twitter. 

Bahkan Trump berencana menggelar pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping. Belum ada kabar yang lebih spesifik mengenai pertemuan ini, tetapi Trump mengungkapkan pertemuan bisa berlangsung lebih dari sekali. 

Namun di tengah situasi yang sedang kondusif dan harmonis ini, AS masih saja bersikap keras terhadap China. Gedung Putih menegaskan bahwa tenggat waktu 'gencatan senjata' selama 90 hari akan selesai pada 1 Maret. Jika tidak ada kesepakatan, maka mulai 2 Maret akan terjadi kenaikan bea masuk terhadap impor produk-produk made in China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. 

"Saat ini, masih mustahil bagi saya untuk memperkirakan (dialog dagang dengan China) akan menghasilkan kesuksesan. Namun jika berjalan baik, maka itu bisa terjadi. Apakah kami bisa mencapai kesepakatan? Saya tidak tahu," kata Lighthizer, mengutip Reuters. 

Pernyataan-pernyataan tersebut memberi sinyal yang agak mixed. Di satu sisi ada optimisme, tetapi di sisi lain muncul kehati-hatian. Sembari menunggu pertengahan Februari, di mana delegasi AS melakukan kunjungan balasan ke Beijing, sepertinya pasar akan dibiarkan menebak-nebak.

Ketidakjelasan ini bisa berujung pada pola permainan yang cenderung bermain aman. Investor yang memilih bermain aman artinya tidak akan melirik aset-aset berisiko di negara berkembang untuk sementara waktu. Ini tentu bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah. 

Sentimen kedua adalah perkembangan dari Venezuela. Menghadapi tekanan yang semakin besar, Presiden Nicolas Maduro memutuskan untuk menggelar pemilihan parlemen.

Ini dilakukan setelah puluhan ribu massa menggelar aksi menentang pemerintahannya dan mendukung Presiden Interim Juan Guaido. Tidak hanya itu, seorang jenderal militer juga sudah membelot dan menyeberang ke kubu sebelah. 

"Anda mau pemilu? Ada mau pemilu yang lebih awal? Kami akan menggelar pemilihan parlemen," tegas Maduro dalam pidato aksi pendukung pemerintah, mengutip Reuters. 

Situasi di Venezuela yang masih panas bisa berdampak terhadap harga minyak. Harga si emas hitam berpotensi naik karena gangguan produksi dan ekspor negara ini. Maklum, Venezuela adalah salah satu pemasok minyak utama di pasar global.

Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menyebutkan, produksi minyak Venezuela mencapai 2,03 juta barel/hari. Sementara cadangan minyaknya adalah yang terbesar di dunia yaitu mencapai 302,82 miliar barel.  

Sepekan lalu, harga minyak sudah bergerak ke utara alias naik. Dalam seminggu terakhir, harga minyak jenis brent naik 1,8% dan loght sweet melesat 2,73%. 

Kenaikan harga minyak bukan berita bagus buat rupiah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal. Defisit di neraca migas bakal semakin melebar. 

Kala defisit neraca migas memburuk, maka neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin parah. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh karena minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Rupiah pun berisiko melemah. 

Mengingat hari ini adalah Hari Kejepit Nasional (Harpitnas) karena besok libur Tahun Baru Imlek, maka sepertinya perdagangan hari ini akan kurang semarak. Namun di tengah perdagangan yang kemungkinan kurang bergairah, investor tetap perlu waspada karena masih ada risiko yang menghantui. Jangan lengah, jangan terbuai!


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pemesanan pabrik AS periode November 2018 (22:00 WIB).
  • Rilis data Indeks Harga Produsen (PPI) Zona Euro periode Desember 2018 (17:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2018 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular