Kali Terakhir Tutup di Atas 6.500, Besoknya IHSG Anjlok 1,35%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 January 2019 20:03
Kali Terakhir Tutup di Atas 6.500, Besoknya IHSG Anjlok 1,35%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Investor di pasar saham tanah air bersuka cita pada perdagangan hari ini. Bagaimana tidak, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 1,06% ke level 6.532,97.

Lantas, untuk pertama kalinya sejak 12 Maret 2018 IHSG berhasil ditutup di atas level psikologis 6.500. Kala itu, IHSG melejit 1,05% dari level 6.433,32 ke level 6.500,69.

Namun yang patut diwaspadai, sehari setelahnya (13 Maret) IHSG justru anjlok 1,35% ke level 6.412,85. IHSG anjlok ditengah penguatan mayoritas bursa saham kawasan regional, walaupun penguatannya bisa dibilang terbatas.

Kekhawatiran terkait perang dagang dalam skala global membatasi penguatan bursa saham regional, bahkan berhasil membuat IHSG anjlok. Sebagai informasi, pada 8 Maret 2018 Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengenaan bea masuk baru untuk baja dan aluminium yang masuk ke AS, masing-masing senilai 25% dan 10%. Dari sinilah perang dagang antara AS dengan China resmi dimulai.

Dari dalam negeri, laju IHSG dibebani oleh rilis Survei Penjualan Eceran (SPE) periode Januari 2018 oleh Bank Indonesia (BI). Survei tersebut menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel sepanjang Januari 2018 turun sebesar 1,8% secara year-on-year (YoY). Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY. Indeks sektor barang konsumsi lantas anjlok hingga 2,35%.

Bagaimana dengan besok? Akankah IHSG juga anjlok dan kembali ke bawah level 6.500 seperti yang terjadi pada tanggal 13 Maret?
Hal yang membuat IHSG anjlok pada tanggal 1,35% yakni perang dagang berpotensi membayangi IHSG pada perdagangan esok hari. Kemarin dan hari ini, AS dan China menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi di Washington yang melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.

Negosiasi kali ini terbilang krusial. Pasalnya, periode gencatan senjata selama 90 hari yang disetujui oleh Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 pada Desember silam akan berakhir pada tanggal 1 Maret mendatang.

Trump sebelumnya sudah mengancam akan menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari yang sebelumnya 10%, jika kedua negara gagal mencapai kesepakatan dagang hingga tenggat waktu tersebut berakhir.

Kemarin, orang-orang yang familiar dengan dialog dagang AS-China mengatakan bahwa sejauh ini hanya ada sedikit indikasi bahwa pejabat pemerintahan China akan memenuhi permintaan utama dari AS yakni melindungi hak kekayaan intelektual dari perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam, serta mengakhiri kebijakan-kebijakan yang dianggap memaksa adanya transfer teknologi dari perusahaan asal AS kepada perusahaan asal China, seperti dikutip dari Reuters.

“Jelas bahwa terkait masalah-masalah struktural, dalam transfer teknologi secara paksa, ada perbedaan yang signifikan jika bukan jurang yang besar di antara kedua pihak,” papar salah seorang dari sumber tersebut, seperti dikutip dari Reuters.

Terkait masalah transfer teknologi secara paksa, China sejatinya tak benar-benar keras kepala. China diketahui bergerak cepat guna meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan melarang transfer teknologi secara paksa dan intervensi pemerintah secara ilegal terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Negeri Panda.

Xinhua News melaporkan bahwa pemungutan suara terhadap RUU tersebut akan dilakukan pada bulan Maret, seperti dikutip dari Reuters. RUU tersebut pada awalnya diperkenalkan pada 23 Desember 2018 dan biasanya memakan waktu satu tahun atau lebih untuk bisa diloloskan.

Pemungutan suara atas RUU tersebut dipercepat pasca National People’s Congress (NPC) Standing Committee menggelar rapat khusus selama 2 hari pada pekan ini untuk melakukan tinjauan yang kedua terhadap RUU tersebut.

Dengan etikat baik yang ditunjukkan China, ada kemungkinan negosiasi dagang kali ini akan membuahkan hasil yang signifikan.

Namun, kemungkinan bahwa negosiasi dagang AS-China tak membuahkan hasil juga tak bisa dibilang kecil. Jika AS merasa tawaran dari China tak memuaskan, bisa jadi tawaran tersebut akan ditolak mentah-mentah.

Selama perang dagang kedua negara berkecamuk, terlihat bahwa pemerintahan AS sama sekali belum melunak terhadap China, berbeda dengan dalam hal lain seperti pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko.

Dalam masa kampanye, Trump menyebut bahwa dirinya akan membuat Meksiko membayar sendiri biaya pembangunan tembok perbatasan kedua negara. Namun, hal ini tidak terealisasi.

Belum lama ini, pemerintahan AS harus mengalami yang namanya partial government shutdown selama 35 hari lantaran Partai Demokrat menolak anggaran pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko senilai US$ 5,7 miliar yang diminta Trump. Seperti yang sudah disebutkan pada halaman pertama, anjloknya IHSG pada tanggal 13 Maret 2018 juga dipicu oleh lemahnya konsumsi masyarakat yang tercermin dari kontraksi penjualan barang-barang ritel.

Nah besok, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis angka inflasi periode Januari 2019. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi month-on-month di level 0,5%, sementara inflasi secara tahunan ada di level 3,01%.

Jika inflasi bisa menyamai atau bahkan mengalahkan ekspektasi para ekonom, bisa timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat relatif kuat. Namun sebaliknya, jika inflasi berada di bawah ekspektasi apalagi dengan marjin yang lebar, bisa timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat relatif lemah.

Akibatnya, saham-saham barang konsumsi bisa dilego oleh investor dan membebani laju IHSG secara keseluruhan.

Perlu diingat juga bahwa sektor barang konsumsi sudah melejit sebesar 3,56% sepanjang tahun ini, sehingga ruang bagi investor untuk melakukan aksi ambil untung menjadi terbuka lebar.

Pada intinya, hasil dari negosiasi dagang AS-China dan rilis angka inflasi akan sangat menentukan nasib IHSG besok. Kalau hasilnya kelewat jelek, bukan tak mungkin koreksi dengan kedalaman lebih dari 1% akan kembali dialami.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular