
Chatib Basri: Belum Ada Sinyal BI Bakal Turunkan Bunga Acuan
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
30 January 2019 15:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai saat ini ruang ekspansi moneter oleh Bank Indonesia (BI) tidak akan terlalu besar. Pasalnya, kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan di level 6% dinilai sudah hampir mencapai puncaknya.
Hal itu disampaikan Chatib saat jumpa pers di acara Mandiri Investment Forum. Menurutnya, kemungkinan adanya ruang untuk menurunkan bunga acuan Bank Indonesia masih akan ditentukan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
"Tadi Pak Perry menyampaikan bahwa monetary policy sudah hampir mencapai puncaknya, jika BI menaikkan bunga lagi tidak akan terlalu banyak lagi, itu menujukkan tightening cycle akan berhenti," ujar Chatib Basri, di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Meski demikian, lanjut Chatib, jika nantinya Bank Indonesia menurunkan bunga acuan, hal itu akan berdampak pada gejolak nilai tukar Rupiah. Implikasinya dengan tingkat bunga acuan 6 persen investasi akan terganggu fiskal, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sisi dari royalti juga akan turun. "Kita belum masuk BI menurunkan tingkat bunga," jelas dia.
Chatib melanjutkan, era kebijakan moneter yang ketat diperkirakan tidak akan berlanjut di tahun ini. Analis bahkan memperkirakan di tahun ini The Fed hanya akan menaikkan bunga acuannya dua kali. Hal itu juga diamini oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
"Itulah sebabnya saya bilang saat ini policy rate kita hampir di puncak, karena kita sudah pertimbangkan ada kenaikan bunga FFR," kata Perry Warjiyo, saat menyampaikan paparannya di acara yang sama.
Perry membeberkan strateginya agar kebijakan bank sentral tetap pro-pertumbuhan, saat siklus kenaikan suku bunga acuan diperkirakan telah mencapai puncaknya. Karena defisit transaksi berjalan (CAD) masih perlu didorong turun melalui strategi bauran kebijakan, menggabungkan kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter.
Kebijakan yang diambil bank sentral haruslah bersifat pre-emptive dan ahead of the curve, langkah yang selama ini selalu ia dengung-dengungkan.
"Jika Anda menghadapi ketidakpastian, Anda harus pre-emptive terhadap ketidakpastian atau risiko tersebut. Kebijakan policy mix sangat jelas membuat aset keuangan dalam negeri menarik," tutur Perry.
Dalam kesempatan tersebut, Perry menyebut, beberapa risiko eksternal yang disebutnya dapat memengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri. Beberapa di antaranya adalah dampak penutupan pemerintahan Amerika Serikat (AS) atau government shutdown, perlambatan ekonomi di China, dan ketidakpastian Brexit di Inggris.
(dru/dru) Next Article Chatib Basri: Rupiah akan Melemah Hingga Juni 2019
Hal itu disampaikan Chatib saat jumpa pers di acara Mandiri Investment Forum. Menurutnya, kemungkinan adanya ruang untuk menurunkan bunga acuan Bank Indonesia masih akan ditentukan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
"Tadi Pak Perry menyampaikan bahwa monetary policy sudah hampir mencapai puncaknya, jika BI menaikkan bunga lagi tidak akan terlalu banyak lagi, itu menujukkan tightening cycle akan berhenti," ujar Chatib Basri, di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Chatib melanjutkan, era kebijakan moneter yang ketat diperkirakan tidak akan berlanjut di tahun ini. Analis bahkan memperkirakan di tahun ini The Fed hanya akan menaikkan bunga acuannya dua kali. Hal itu juga diamini oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
"Itulah sebabnya saya bilang saat ini policy rate kita hampir di puncak, karena kita sudah pertimbangkan ada kenaikan bunga FFR," kata Perry Warjiyo, saat menyampaikan paparannya di acara yang sama.
Perry membeberkan strateginya agar kebijakan bank sentral tetap pro-pertumbuhan, saat siklus kenaikan suku bunga acuan diperkirakan telah mencapai puncaknya. Karena defisit transaksi berjalan (CAD) masih perlu didorong turun melalui strategi bauran kebijakan, menggabungkan kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter.
Kebijakan yang diambil bank sentral haruslah bersifat pre-emptive dan ahead of the curve, langkah yang selama ini selalu ia dengung-dengungkan.
"Jika Anda menghadapi ketidakpastian, Anda harus pre-emptive terhadap ketidakpastian atau risiko tersebut. Kebijakan policy mix sangat jelas membuat aset keuangan dalam negeri menarik," tutur Perry.
Dalam kesempatan tersebut, Perry menyebut, beberapa risiko eksternal yang disebutnya dapat memengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri. Beberapa di antaranya adalah dampak penutupan pemerintahan Amerika Serikat (AS) atau government shutdown, perlambatan ekonomi di China, dan ketidakpastian Brexit di Inggris.
(dru/dru) Next Article Chatib Basri: Rupiah akan Melemah Hingga Juni 2019
Most Popular