
Bappenas: Ini Alasan Crazy Rich Surabaya Enggan IPO
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
28 January 2019 18:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat ada sejumlah perusahaan keluarga cukup besar di Jawa Timur yang berpotensi melantai atau mencatatkan saham perusahan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun perusahaan tersebut enggan menjadi perusahaan publik karena dinilai sudah memiliki dana yang cukup mengembangkan usahanya.
"Ada beberapa perusahaan besar yang gak mau IPO, dia merasa dia sudah cukup dana untuk kembangkan bisnisnya, jadi gak perlu tambahan dari luar, gak perlu IPO," kata Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Kementerian PPN/Bappenas, Muhammad Cholifihani, di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Namun ketika diminta untuk disebutkan perusahaan mana saja yang cukuo potensial tersebut, Cholifihani enggan pernyataannya dikutip. Padahal sebelumnya, Bursa Efek Indonesia telah mendorong perusahaan-perusahaan keluarga juga bisa turut meramaikan pasar modal.
Tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini menargetkan ada 75-100 perusahaan melakukan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO).
Beragam sosialiasi agar lebih banyak perusahaan melantai di BEI dilakukan, termasuk berencana membuat aturan bagi perusahaan yang memiliki utang besar di perbankan untuk bisa melantai di Bursa.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menjelaskan, perusahaan hanya akan melakukan IPO bila memiliki tujuan. Setidaknya, ada dua tujuan IPO perusahaan, yakni karena butuh modal atau sifatnya strategis, semisal perusahaan merupakan perusahaan keluarga agar lebih baik tata kelolanya.
"Kalau dia butuh modal, maka dia bakal membandingkan dengan pendanaan konvensional yaitu lewat perbankan. Lebih ribet mana nih? Kalau bank hitungannya lebih simple ditambah return menarik ya mereka [perusahaan] pasti ikut bank," jelas Haryadi kepada CNBC Indonesia, Senin (21/1/2019).
Kedua, dengan go public, maka kepemilikan saham pendiri otomatis terdelusi. Perusahaan juga membutuhkan kepastian dihargai berapa saham yang dilempar ke publik tersebut.
Perusahaan juga selalu melihat referensi usaha sejenis di publik. Ditambah investor kerap meminta diskon harga saham sebesar 30%-50%. "Kebanyakan investor nawar enggak kira-kira, minta diskon 30%-50%, kalau minta diskon banyak maka saham yang bisa dilepas juga banyak," ucapnya.
Di sisi lain, perusahaan juga kesulitan mencari investor yang bersedia membeli saham perusahaan. Dengan dominasi investor asing yang tinggi hal itu juga berpengaruh terhadap selera investor.
Pasalnya, saham berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN) yang penerbitannya dijamin Pemerintah sekaligus memiliki return yang menguntungkan. "Kalau di kita [Indonesia] repotnya gitu. Di satu sisi investor juga memandang risiko return [perusahaan] belum jelas," ungkapnya.
Haryadi menambahkan, aturan BEI tersebut tidak akan membuat perusahaan debitur perbankan serta merta mau melantai di Bursa apalagi bila aturan tersebut bersifat wajib. Selama kondisi bank masih lebih murah dan lebih sederhana, maka perusahaan akan tetap memilih pendanaan melalui perbankan.
Perbankan yang dipinjami uangnya pun tidak bisa bebas memberi data soal kondisi keuangan perusahaan ke BEI. Kerahasiaan tersebut, kata Haryadi, dijamin dalam Undang-Undang. "Belum tentu perusahannya mau. Kalau buka data bisa komplain nasabahnya kan," tandasnya.
(hps/hps) Next Article Saham-saham Emiten Crazy Rich RI Ngamuk, Ini Daftarnya!
"Ada beberapa perusahaan besar yang gak mau IPO, dia merasa dia sudah cukup dana untuk kembangkan bisnisnya, jadi gak perlu tambahan dari luar, gak perlu IPO," kata Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Kementerian PPN/Bappenas, Muhammad Cholifihani, di Jakarta, Senin (28/1/2019).
Namun ketika diminta untuk disebutkan perusahaan mana saja yang cukuo potensial tersebut, Cholifihani enggan pernyataannya dikutip. Padahal sebelumnya, Bursa Efek Indonesia telah mendorong perusahaan-perusahaan keluarga juga bisa turut meramaikan pasar modal.
Tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini menargetkan ada 75-100 perusahaan melakukan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO).
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menjelaskan, perusahaan hanya akan melakukan IPO bila memiliki tujuan. Setidaknya, ada dua tujuan IPO perusahaan, yakni karena butuh modal atau sifatnya strategis, semisal perusahaan merupakan perusahaan keluarga agar lebih baik tata kelolanya.
"Kalau dia butuh modal, maka dia bakal membandingkan dengan pendanaan konvensional yaitu lewat perbankan. Lebih ribet mana nih? Kalau bank hitungannya lebih simple ditambah return menarik ya mereka [perusahaan] pasti ikut bank," jelas Haryadi kepada CNBC Indonesia, Senin (21/1/2019).
Kedua, dengan go public, maka kepemilikan saham pendiri otomatis terdelusi. Perusahaan juga membutuhkan kepastian dihargai berapa saham yang dilempar ke publik tersebut.
Perusahaan juga selalu melihat referensi usaha sejenis di publik. Ditambah investor kerap meminta diskon harga saham sebesar 30%-50%. "Kebanyakan investor nawar enggak kira-kira, minta diskon 30%-50%, kalau minta diskon banyak maka saham yang bisa dilepas juga banyak," ucapnya.
Di sisi lain, perusahaan juga kesulitan mencari investor yang bersedia membeli saham perusahaan. Dengan dominasi investor asing yang tinggi hal itu juga berpengaruh terhadap selera investor.
Pasalnya, saham berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN) yang penerbitannya dijamin Pemerintah sekaligus memiliki return yang menguntungkan. "Kalau di kita [Indonesia] repotnya gitu. Di satu sisi investor juga memandang risiko return [perusahaan] belum jelas," ungkapnya.
Haryadi menambahkan, aturan BEI tersebut tidak akan membuat perusahaan debitur perbankan serta merta mau melantai di Bursa apalagi bila aturan tersebut bersifat wajib. Selama kondisi bank masih lebih murah dan lebih sederhana, maka perusahaan akan tetap memilih pendanaan melalui perbankan.
Perbankan yang dipinjami uangnya pun tidak bisa bebas memberi data soal kondisi keuangan perusahaan ke BEI. Kerahasiaan tersebut, kata Haryadi, dijamin dalam Undang-Undang. "Belum tentu perusahannya mau. Kalau buka data bisa komplain nasabahnya kan," tandasnya.
(hps/hps) Next Article Saham-saham Emiten Crazy Rich RI Ngamuk, Ini Daftarnya!
Most Popular