
Apindo Sebut Alasan Perusahaan Enggan IPO
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
21 January 2019 17:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini menargetkan ada 75-100 perusahaan melakukan penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Beragam sosialiasi agar lebih banyak perusahaan melantai di BEI dilakukan, termasuk berencana membuat aturan bagi perusahaan yang memiliki utang besar di perbankan untuk bisa melantai di Bursa.
Namun, apakah dengan adanya aturan tersebut serta merta debitur bank bersedia melantai di Bursa? Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menjelaskan, perusahaan hanya akan melakukan IPO bila memiliki tujuan.
Setidaknya, ada dua tujuan IPO perusahaan, yakni karena butuh modal atau sifatnya strategis, semisal perusahaan merupakan perusahaan keluarga agar lebih baik tata kelolanya.
"Kalau dia butuh modal, maka dia bakal membandingkan dengan pendanaan konvensional yaitu lewat perbankan. Lebih ribet mana nih? Kalau bank hitungannya lebih simple ditambah return menarik ya mereka [perusahaan] pasti ikut bank," jelas Haryadi kepada CNBC Indonesia, Senin (21/1/2019).
Kedua, dengan go public, maka kepemilikan saham pendiri otomatis terdelusi. Perusahaan juga membutuhkan kepastian dihargai berapa saham yang dilempar ke publik tersebut.
Perusahaan juga selalu melihat peer to peer atau referensi usaha sejenis di publik. Ditambah investor kerap meminta diskon harga saham sebesar 30%-50%.
"Kebanyakan investor nawar enggak kira-kira, minta diskon 30%-50%, kalau minta diskon banyak maka saham yang bisa dilepas juga banyak," ucapnya.
Di sisi lain, perusahaan juga kesulitan mencari investor yang bersedia membeli saham perusahaan. Dengan dominasi investor asing yang tinggi hal itu juga berpengaruh terhadap selera investor.
Pasalnya, saham berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN) yang penerbitannya dijamin Pemerintah sekaligus memiliki return yang menguntungkan.
"Kalau di kita [Indonesia] repotnya gitu. Di satu sisi investor juga memandang risiko return [perusahaan] belum jelas." Ungkapnya.
Haryadi mengatakan, aturan BEI tersebut tidak akan membuat perusahaan debitur perbankan serta merat mau melantai di Bursa apalagi bila aturan tersebut bersifat wajib. Selama kondisi bank masih lebih murah dan lebih sederhana, maka perusahaan akan tetap memilih pendanaan melalui perbankan.
Perbankan yang dipinjami uangnya pun tidak bisa bebas memberi data soal kondisi keuangan perusahaan ke BEI. Kerahasiaan tersebut, kata Haryadi, dijamin dalam Undang-Undang.
"Belum tentu perusahannya mau. Kalau buka data bisa komplain nasabahnya kan," tandasnya.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) secara sukarela menyodorkan profil perusahaan yang memiliki utang besar dan berpeluang melakukan IPO. Pengamat pasar modal Satrio Utomo menegaskan, profil perusahaan dan data perusahaan adalah dua hal yang berbeda.
"Kalau profil perusahaan itu hanya data umum saja. Tapi kalau data itu kondisi perusahaan saat ini. Batasan informasi apa yang bisa didisclose nantinya itu harus diatur." Imbuhnya.
(hps/hps) Next Article 29 Perusahaan Antre IPO Tahun Ini, Yuk Simak Ada yang Jumbo
Namun, apakah dengan adanya aturan tersebut serta merta debitur bank bersedia melantai di Bursa? Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani menjelaskan, perusahaan hanya akan melakukan IPO bila memiliki tujuan.
Setidaknya, ada dua tujuan IPO perusahaan, yakni karena butuh modal atau sifatnya strategis, semisal perusahaan merupakan perusahaan keluarga agar lebih baik tata kelolanya.
Kedua, dengan go public, maka kepemilikan saham pendiri otomatis terdelusi. Perusahaan juga membutuhkan kepastian dihargai berapa saham yang dilempar ke publik tersebut.
Perusahaan juga selalu melihat peer to peer atau referensi usaha sejenis di publik. Ditambah investor kerap meminta diskon harga saham sebesar 30%-50%.
"Kebanyakan investor nawar enggak kira-kira, minta diskon 30%-50%, kalau minta diskon banyak maka saham yang bisa dilepas juga banyak," ucapnya.
Di sisi lain, perusahaan juga kesulitan mencari investor yang bersedia membeli saham perusahaan. Dengan dominasi investor asing yang tinggi hal itu juga berpengaruh terhadap selera investor.
Pasalnya, saham berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN) yang penerbitannya dijamin Pemerintah sekaligus memiliki return yang menguntungkan.
"Kalau di kita [Indonesia] repotnya gitu. Di satu sisi investor juga memandang risiko return [perusahaan] belum jelas." Ungkapnya.
Haryadi mengatakan, aturan BEI tersebut tidak akan membuat perusahaan debitur perbankan serta merat mau melantai di Bursa apalagi bila aturan tersebut bersifat wajib. Selama kondisi bank masih lebih murah dan lebih sederhana, maka perusahaan akan tetap memilih pendanaan melalui perbankan.
Perbankan yang dipinjami uangnya pun tidak bisa bebas memberi data soal kondisi keuangan perusahaan ke BEI. Kerahasiaan tersebut, kata Haryadi, dijamin dalam Undang-Undang.
"Belum tentu perusahannya mau. Kalau buka data bisa komplain nasabahnya kan," tandasnya.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) secara sukarela menyodorkan profil perusahaan yang memiliki utang besar dan berpeluang melakukan IPO. Pengamat pasar modal Satrio Utomo menegaskan, profil perusahaan dan data perusahaan adalah dua hal yang berbeda.
"Kalau profil perusahaan itu hanya data umum saja. Tapi kalau data itu kondisi perusahaan saat ini. Batasan informasi apa yang bisa didisclose nantinya itu harus diatur." Imbuhnya.
(hps/hps) Next Article 29 Perusahaan Antre IPO Tahun Ini, Yuk Simak Ada yang Jumbo
Most Popular