
Debitur Bank Diminta IPO, Kasih Insentif Dong
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
21 January 2019 19:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah, Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perbankan diminta menyiapkan pemanis atau sweetener guna menarik debitur besar perbankan untuk mau melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal.
Selama ini, menurut catatan BEI, baru ada dua perbankan yang aktif mengarahkan nasabah besarnya untuk IPO yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Pengamat pasar modal Satrio Utomo mengatakan dibutuhkan 'pemanis' agar perusahaan bersedia membuka diri ke publik. Pemanis itu tidak bisa bersumber dari satu pihak saja tapi dari BEI, OJK, dan perbankan.
"Dulu pemerintah sempat memberi insentif pajak ke perusahaan yang IPO. Jadi, insentif itu jangan cuma dari BEI atau OJK, tapi pemerintah harus juga. Bank juga bisa misalnya, dengan perusahaan menjadi Tbk [terbuka] bisa berikan utang yang lebih besar lagi," kata Satrio kepada CNBC Indonesia, Senin (21/1/2019).
Menurut Satrio, selama ini perusahaan enggan melantai karena belum memiliki kepercayaan pada pasar modal Indonesia. Soal pendanaan, mereka lebih percaya perbankan ketimbang harus menjual saham ke publik.
Sebagian lain enggan berurusan dengan pasar modal karena harus transparan dalam hal kondisi keuangan, penjualan dan cashflow perusahaan.
Sebelumnya BEI mewacanakan untuk memberikan kewajiban (mandatory) kepada perbankan untuk mengarahkan para debitur yang selama ini menarik kredit dalam jumlah besar untuk IPO dalam menggalang dana.
Menurut Satrio, rencana itu sebenarnya akan membantu perusahaan sekuritas untuk tahu perusahaan mana yang prospektif. Pasalnya, selama ini perusahaan sekuritas kekurangan informasi mengenai perusahaan mana yang mampu melakukan IPO.
"Di kalangan investment bankers yang ada di perusahaan sekuritas sering kekurangan informasi mengenai siapa sih yang layak IPO. Kita sering lihat kanan-kiri, masuk kawasan industri, tapi tidak tahu siapa sih dan seberapa besar," ujarnya.
Setelah itu, BEI atau investment banker di bursa akan bertanya ke perusahaan terkait apakah bersedia melakukan IPO. Bila perusahaan enggan, maka BEI dan perusahaan investasi tidak bisa memaksa calon emiten tersebut karena aturan ini tidak bersifat mandatory alias wajib.
Kendati demikian, Satrio mengingatkan, perbankan pun juga tidak bisa semena-mena dalam memberikan data ke BEI terkait performa perusahaan yang berutang. Dalam perjanjian utang antara perusahaan dan perbankan, ada hal-hal yang tidak bisa diinformasikan ke pihak lain.
"Biasanya perjanjian utang bank dan perseroan mereka satu lawan satu. Ada beberapa hal yang tidak bisa dibocorkan. Itu harus diatur nanti saat pembuatan aturan."
Tahun ini OJK dan BEI menargetkan ada 75-100 emiten yang bisa IPO. Tahun 2018, dari target 35 emiten, BEI mampu menghadirkan 57 emiten baru.
(tas) Next Article Ada Apa Saham IPO? Giliran Saham RMKE Ambles di Hari Pertama
Selama ini, menurut catatan BEI, baru ada dua perbankan yang aktif mengarahkan nasabah besarnya untuk IPO yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Pengamat pasar modal Satrio Utomo mengatakan dibutuhkan 'pemanis' agar perusahaan bersedia membuka diri ke publik. Pemanis itu tidak bisa bersumber dari satu pihak saja tapi dari BEI, OJK, dan perbankan.
"Dulu pemerintah sempat memberi insentif pajak ke perusahaan yang IPO. Jadi, insentif itu jangan cuma dari BEI atau OJK, tapi pemerintah harus juga. Bank juga bisa misalnya, dengan perusahaan menjadi Tbk [terbuka] bisa berikan utang yang lebih besar lagi," kata Satrio kepada CNBC Indonesia, Senin (21/1/2019).
Menurut Satrio, selama ini perusahaan enggan melantai karena belum memiliki kepercayaan pada pasar modal Indonesia. Soal pendanaan, mereka lebih percaya perbankan ketimbang harus menjual saham ke publik.
Sebagian lain enggan berurusan dengan pasar modal karena harus transparan dalam hal kondisi keuangan, penjualan dan cashflow perusahaan.
"Di kalangan investment bankers yang ada di perusahaan sekuritas sering kekurangan informasi mengenai siapa sih yang layak IPO. Kita sering lihat kanan-kiri, masuk kawasan industri, tapi tidak tahu siapa sih dan seberapa besar," ujarnya.
Setelah itu, BEI atau investment banker di bursa akan bertanya ke perusahaan terkait apakah bersedia melakukan IPO. Bila perusahaan enggan, maka BEI dan perusahaan investasi tidak bisa memaksa calon emiten tersebut karena aturan ini tidak bersifat mandatory alias wajib.
Kendati demikian, Satrio mengingatkan, perbankan pun juga tidak bisa semena-mena dalam memberikan data ke BEI terkait performa perusahaan yang berutang. Dalam perjanjian utang antara perusahaan dan perbankan, ada hal-hal yang tidak bisa diinformasikan ke pihak lain.
"Biasanya perjanjian utang bank dan perseroan mereka satu lawan satu. Ada beberapa hal yang tidak bisa dibocorkan. Itu harus diatur nanti saat pembuatan aturan."
Tahun ini OJK dan BEI menargetkan ada 75-100 emiten yang bisa IPO. Tahun 2018, dari target 35 emiten, BEI mampu menghadirkan 57 emiten baru.
(tas) Next Article Ada Apa Saham IPO? Giliran Saham RMKE Ambles di Hari Pertama
Most Popular