
Perang Dagang AS-China Makin Panas, Ekonomi Dunia Makin Suram
Rehia Indrayanti Beru Sebayang, CNBC Indonesia
25 January 2019 17:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Reuters pada Jumat (25/1/2019) WIB, merilis hasil jajak pendapat yang berisi pandangan lebih dari 500 ekonom di seluruh dunia. Dari survei itu, ekonomi global diperkirakan akan tumbuh 3,5% tahun ini. Nilai itu lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya, yaitu 3,6%.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia 3,5% sejalan dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund / IMF) yang dirilis menjelang pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. Revisi pertumbuhan ekonomi global menyiratkan banyak tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan.
Salah satu faktor utama yang disebut dalam laporan Reuters adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Apabila perang dagang semakin memanas, maka ekonomi global akan semakin melambat.
Masih menurut laporan Reuters, perang dagang dan kondisi keuangan yang kacau telah memengaruhi kinerja sebagian besar negara di dunia. Hal itu pun telah membuat China mencatatkan pertumbuhan ekonomi terendah dalam 28 tahun.
Survei Reuters selama dua tahun terakhir telah berulang kali menyoroti proteksionisme perdagangan sebagai salah satu risiko penurunan utama bagi perekonomian dunia.
Dalam jajak pendapat terbaru Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom ditemukan bahwa mereka memangkas proyeksi pertumbuhan terhadap 33 negara, dari total 46 negara yang disebutkan. Sementara ada 10 negara yang proyeksi pertumbuhannya tidak diubah dan hanya ada tiga negara yang proyeksi pertumbuhannya sedikit dinaikkan.
Prospek inflasi tahun ini juga dipangkas untuk sebagian besar ekonomi, di mana batas terendah dan tertinggi sama-sama dipangkas.
Lebih dari setengah dari sekitar 270 ekonom yang menjawab pertanyaan tambahan mengatakan peningkatan tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kemungkinan akan memicu perlambatan ekonomi global yang lebih signifikan tahun ini.
Pada Desembe 2018, Gedung Putih dan Beijing telah setuju melakukan gencatan senjata perang dagang dan menetapkan 1 Maret 2019 sebagai batas waktu untuk menyepakati perjanjian perdagangan baru. Jika hal tersebut tidak tercapai, AS telah mengancam akan menerapkan tarif impor tambahan senilai US$ 200 miliar pada barang-barang China.
Namun, hingga saat ini, baik Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping belum juga menemukan solusi apapun untuk dapat mencapai kata sepakat.
Kekhawatiran mengenai perang dagang itu ternyata juga telah memengaruhi pandangan para pakar pasar yang di survei oleh Reuters yang secara konsisten menurunkan perkiraan mereka terhadap berbagai harga aset selama beberapa bulan terakhir, mulai dari indeks saham hingga imbal hasil obligasi sampai minyak.
"Terlepas dari 'gencatan senjata' antara Presiden Trump dan Xi pada pertemuan Desember lalu, perang dagang cenderung membebani aktivitas pada 2019," kata Janet Henry, kepala ekonom global di HSBC.
"Kenaikan tarif lebih lanjut telah ditunda, tetapi belum ada yang menyebutkan bea impor yang ada akan dicabut dan kemungkinan AS untuk memberlakukan bea masuk pada mobil masih di mungkin terjadi," lanjutnya.
Meskipun gencatan senjata 90 hari tercapai pada awal Desember dan Trump mengatakan pembicaraan perdagangan dengan China berjalan baik, namun kekhawatiran mengenai perang dagang masih terus ada.
"Jangan bilang kepada saya ada orang yang benar-benar percaya bahwa 'kesepakatan besar' dalam perdagangan segera terjadi antara AS dan China. Kita berada dalam tahap awal Perang Dingin baru," kata Jan Lambregts, kepala pasar keuangan global di Rabobank.
Bank-bank sentral utama juga telah mengubah strateginya dalam hal kebijakan moneter. Beberapa bank sentral dunia mulai melonggarkan kebijakan meski masih menghadapi berbagai risiko yang menakutkan.
Meskipun memprediksi ada dua kali kenaikan suku bunga acuan tahun ini, sejalan dengan rencana The Fed sendiri, namun ekonom sekarang memproyeksikan bank sentral AS itu akan menaikkan suku bunga pada kuartal kedua, bukan pada kuartal pertama. Namun, ada juga ekonom yang memprediksikan the Fed hanya akan menaikkan suku bunga sekali atau tidak sama sekali di tahun ini.
Perlambatan tajam dalam pertumbuhan ekonomi Zona Euro menjadi lebih menonjol setelah ekonomi terbesar Eropa, Jerman, nyaris tidak mengalami resesi di paruh kedua tahun lalu. Hal itu telah meningkatkan kemungkinan normalisasi kebijakan akan ditunda.
"Pertumbuhan global tampaknya akan turun ke laju terlemah sejak krisis keuangan karena perlambatan di Zona Euro dan China terus berlanjut dan AS juga akan terseret segera," kata Andrew Kenningham, kepala ekonom Zona Euro di Capital Economics.
"Pengetatan kebijakan moneter AS sudah hampir berakhir dan Bank Sentral Eropa (ECB) tampaknya akan kehilangan seluruh kesempatan dalam siklus ini. Namun, tidak akan lama lagi pelonggaran kebijakan agan diberlakukan," lanjutnya.
Namun, perlambatan ekonomi diproyeksikan tidak hanya terjadi di negara maju. Negara berkembang juga diperkirakan akan terpengaruh tahun ini.
Dan, dalam perubahan kebijakan yang luar biasa, Reserve Bank of India diperkirakan akan menurunkan suku bunga pada pertengahan tahun, dan bukannya menaikkan suku bunga seperti yang diprediksi hanya sebulan yang lalu.
(miq/miq) Next Article Survei Reuters: 2020 Menjadi Tahun Terburuk Bagi Pasar Saham
Perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia 3,5% sejalan dengan proyeksi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund / IMF) yang dirilis menjelang pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. Revisi pertumbuhan ekonomi global menyiratkan banyak tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan.
Salah satu faktor utama yang disebut dalam laporan Reuters adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Apabila perang dagang semakin memanas, maka ekonomi global akan semakin melambat.
![]() |
Survei Reuters selama dua tahun terakhir telah berulang kali menyoroti proteksionisme perdagangan sebagai salah satu risiko penurunan utama bagi perekonomian dunia.
Dalam jajak pendapat terbaru Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom ditemukan bahwa mereka memangkas proyeksi pertumbuhan terhadap 33 negara, dari total 46 negara yang disebutkan. Sementara ada 10 negara yang proyeksi pertumbuhannya tidak diubah dan hanya ada tiga negara yang proyeksi pertumbuhannya sedikit dinaikkan.
Prospek inflasi tahun ini juga dipangkas untuk sebagian besar ekonomi, di mana batas terendah dan tertinggi sama-sama dipangkas.
Lebih dari setengah dari sekitar 270 ekonom yang menjawab pertanyaan tambahan mengatakan peningkatan tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kemungkinan akan memicu perlambatan ekonomi global yang lebih signifikan tahun ini.
Pada Desembe 2018, Gedung Putih dan Beijing telah setuju melakukan gencatan senjata perang dagang dan menetapkan 1 Maret 2019 sebagai batas waktu untuk menyepakati perjanjian perdagangan baru. Jika hal tersebut tidak tercapai, AS telah mengancam akan menerapkan tarif impor tambahan senilai US$ 200 miliar pada barang-barang China.
Namun, hingga saat ini, baik Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping belum juga menemukan solusi apapun untuk dapat mencapai kata sepakat.
Kekhawatiran mengenai perang dagang itu ternyata juga telah memengaruhi pandangan para pakar pasar yang di survei oleh Reuters yang secara konsisten menurunkan perkiraan mereka terhadap berbagai harga aset selama beberapa bulan terakhir, mulai dari indeks saham hingga imbal hasil obligasi sampai minyak.
"Terlepas dari 'gencatan senjata' antara Presiden Trump dan Xi pada pertemuan Desember lalu, perang dagang cenderung membebani aktivitas pada 2019," kata Janet Henry, kepala ekonom global di HSBC.
"Kenaikan tarif lebih lanjut telah ditunda, tetapi belum ada yang menyebutkan bea impor yang ada akan dicabut dan kemungkinan AS untuk memberlakukan bea masuk pada mobil masih di mungkin terjadi," lanjutnya.
Meskipun gencatan senjata 90 hari tercapai pada awal Desember dan Trump mengatakan pembicaraan perdagangan dengan China berjalan baik, namun kekhawatiran mengenai perang dagang masih terus ada.
"Jangan bilang kepada saya ada orang yang benar-benar percaya bahwa 'kesepakatan besar' dalam perdagangan segera terjadi antara AS dan China. Kita berada dalam tahap awal Perang Dingin baru," kata Jan Lambregts, kepala pasar keuangan global di Rabobank.
![]() |
Bank-bank sentral utama juga telah mengubah strateginya dalam hal kebijakan moneter. Beberapa bank sentral dunia mulai melonggarkan kebijakan meski masih menghadapi berbagai risiko yang menakutkan.
Meskipun memprediksi ada dua kali kenaikan suku bunga acuan tahun ini, sejalan dengan rencana The Fed sendiri, namun ekonom sekarang memproyeksikan bank sentral AS itu akan menaikkan suku bunga pada kuartal kedua, bukan pada kuartal pertama. Namun, ada juga ekonom yang memprediksikan the Fed hanya akan menaikkan suku bunga sekali atau tidak sama sekali di tahun ini.
Perlambatan tajam dalam pertumbuhan ekonomi Zona Euro menjadi lebih menonjol setelah ekonomi terbesar Eropa, Jerman, nyaris tidak mengalami resesi di paruh kedua tahun lalu. Hal itu telah meningkatkan kemungkinan normalisasi kebijakan akan ditunda.
"Pertumbuhan global tampaknya akan turun ke laju terlemah sejak krisis keuangan karena perlambatan di Zona Euro dan China terus berlanjut dan AS juga akan terseret segera," kata Andrew Kenningham, kepala ekonom Zona Euro di Capital Economics.
"Pengetatan kebijakan moneter AS sudah hampir berakhir dan Bank Sentral Eropa (ECB) tampaknya akan kehilangan seluruh kesempatan dalam siklus ini. Namun, tidak akan lama lagi pelonggaran kebijakan agan diberlakukan," lanjutnya.
![]() |
Namun, perlambatan ekonomi diproyeksikan tidak hanya terjadi di negara maju. Negara berkembang juga diperkirakan akan terpengaruh tahun ini.
Dan, dalam perubahan kebijakan yang luar biasa, Reserve Bank of India diperkirakan akan menurunkan suku bunga pada pertengahan tahun, dan bukannya menaikkan suku bunga seperti yang diprediksi hanya sebulan yang lalu.
"Pasar benar-benar masih waspada terhadap potensi pertumbuhan yang lebih besar dari perang dagang, tetapi kekhawatiran mengenai prospek inflasi telah berkurang sejak awal Oktober," kata Henry dari HSBC.
[Gambas:Video CNBC]
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Survei Reuters: 2020 Menjadi Tahun Terburuk Bagi Pasar Saham
Most Popular