Rupiah Rp 15.000/US$ Menyusahkan, Bisakah Bikin RI Kolaps?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 January 2019 13:56
Rupiah Rp 15.000/US$ Menyusahkan, Bisakah Bikin RI Kolaps?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 bukan periode yang indah bagi rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah melemah 5,97%. 

Rupiah masuk jajaran mata uang terlemah di Asia pada tahun lalu. Nasib rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee India. 

Sepanjang 2018, rata-rata nilai tukar rupiah adalah Rp 14.229,49/US$. Posisi terlemah rupiah ada di Rp 15.230/US$ yang terjadi pada Oktober 2018, sekaligus menjadi yang terlemah sejak Juli 1998. 

 

Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, bersyukur rupiah tidak terus-menerus di kisaran Rp 15.00/US$. Sebab jika itu terjadi, bukan tidak mungkin Indonesia bisa kolaps. 

"Bicara kurs, kalau rupiah menyentuh Rp 15.000/US$ terus kemarin, Indonesia bisa kolaps. Bank sentral berusaha memastikan stabilitas kurs menjadi Rp 14.000/US$," kata Bambang di Jakarta, Kamis (24/1/2019). 


Pernyataan eks Menteri Keuangan itu mungkin ada benarnya. Sebab jika rupiah terus melemah, bahkan stabil di kisaran Rp 15.000, dampaknya memang tidak bisa dibilang enteng. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Saat rupiah melemah, yang jelas biaya impor menjadi kian mahal. Ini akan menjadi sumber kerentanan, karena ekonomi Indonesia yang masih tumbuh begitu haus akan impor. 

Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2018 tumbuh di kisaran 5,1%. Lebih baik ketimbang tahun sebelumnya yaitu 5,07%. Tahun ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih baik di kisaran 5-5,4%. 

Dengan kondisi saat ini, ekonomi yang tumbuh masih membutuhkan dukungan impor terutama untuk bahan baku dan barang modal. Pasalnya, industri dalam negeri belum mampu menyediakan sepenuhnya sehingga mau tidak mau suka tidak suka harus diimpor. 


Pada saat yang sama, pelemahan rupiah seyogianya mampu mendukung kinerja ekspor. Harga produk-produk made in Indonesia akan lebih murah di pasar global, sehingga bisa memancing kenaikan permintaan. 

Namun ada dua masalah. Pertama, ekspor Indonesia masih sangat bergantung kepada komoditas. Ekspor komoditas tidak sensitif terhadap kurs, tetapi lebih ditentukan oleh permintaan dan harga di pasar internasional. 

Nah, ini masalah yang kedua. Tahun 2018 bukan tahunnya harga komoditas, harga berbagai komoditas andalan ekspor Indonesia turun tajam. 

Harga minyak sawit mentah (CPO) sepanjang 2018 anjlok 16,23%. Sementara harga batu bara turun 3,9%. 

Penurunan harga dua komoditas andalan ekspor Indonesia ini langsung tercermin dari pertumbuhan ekspor 2018. Sepanjang tahun lalu, ekspor Indonesia hanya tumbuh 6,65%. Jauh melambat dibandingkan 2017 yang tumbuh 17,14%. 



Sepertinya sumbangsih net ekspor ke pertumbuhan ekonomi 2018 akan negatif karena impor yang melesat sementara ekspor kurang ciamik. Beban di net ekspor menyebabkan pertumbuhan ekonomi 2018 jauh dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memperkirakan 5,4%. 

Itu terjadi dalam kondisi rata-rata kurs sekitar Rp 14.200/US$. Bayangkan saja kalau rupiah berada di level Rp 15.000/US$. Net ekspor akan minus lebih dalam sehingga sangat membebani pertumbuhan ekonomi. Mungkin untuk mencapai 5% pun sangat sulit. 

Oleh karena itu, mungkin beralasan Bambang menyebut rupiah di kisaran Rp 15.000/US$ bisa menciptakan masalah besar bagi Indonesia. Yang jelas pertumbuhan ekonomi akan melambat lebih parah, tetapi entah kalau sampai kolaps. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Akan tetapi, sebenarnya pelemahan kurs bisa membawa berkah juga. Dalam Nota Keuangan APBN 2018, pelemahan kurs justru 'menguntungkan'. 

Setiap pelemahan rupiah Rp 100/US$, pemerintah akan memperoleh tambahan penerimaan Rp 3,8-5,1 triliun sementara belanja bertambah Rp 2,2-3,4 triliun. Artinya, ada 'cuan' Rp 1,7 triliun setiap rupiah melemah Rp 100/US$ dari asumsi Rp 13.400/US$. 

Dengan rata-rata kurs di Rp 14.229,49/US$, ada selisih sekitar Rp 830 dibandingkan asumsi. Pemerintah punya 'keuntungan' sekira Rp 14 triliun. 

Tambahan amunisi ini bisa saja dijadikan stimulus fiskal. Bisa berupa insentif pajak, tambahan belanja sosial, dan sebagainya. Stimulus fiskal bisa menjadi peredam yang menghindarkan Indonesia dari risiko kolaps, seperti yang dikhawatirkan Bambang. 

Kesimpulannya, pelemahan rupiah hingga ke kisaran Rp 15.000/US$ memang membawa masalah bagi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, dan itu tentu sangat tidak kita harapkan. 

Namun untuk sampai kolaps memang masih tanda tanya, bisa iya atau tidak. Sebab yang pasti pelemahan rupiah membuat pemerintah punya peluru lebih banyak untuk berperang menghadapi risiko kolaps. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular