IMF Bikin Rupiah Labil

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2019 10:31
IMF Bikin Rupiah Labil
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan melemah hari ini. Di pasar spot, rupiah bergerak labil dan dekat dengan zona merah. 

Pada Selasa (22/1/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar/Jisdor berada di Rp 14.221. Rupiah melemah 0,06% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Pelemahan hari ini membuat rupiah terdepresiasi selama 6 hari beruntun di kurs acuan. Ini menjadi rentetan pelemahan terburuk sejak awal Oktober 2018. 

Selama 6 hari tersebut, rupiah melemah 1,2% terhadap dolar AS di kurs acuan. Namun dibandingkan posisi awal tahun, rupiah masih menguat 1,83%. 

 

Sementara di perdagangan pasar spot, rupiah bergerak labil. Pada pukul 10:12 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.205 di mana rupiah menguat tipis 0,11%. 

Mengawali hari, rupiah berada di posisi yang sama yaitu menguat 0,11%. Penguatan ini membawa rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia. 


Namun selepas itu, rupiah mengendur. Bahkan penguatan rupiah sempat habis, impas, sebelum kembali menguat tipis. 


Meski penguatan rupiah relatif terbatas, tetapi cukup lumayan dibandingkan mata uang Asia lainnya. Penguatan 0,11% sudah cukup membawa rupiah ke peringkat tiga klasemen mata uang Benua Kuning, hanya kalah dari won Korea Selatan dan yen Jepang. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:16 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Penopang rupiah hari ini adalah harga minyak dunia yang masih terkoreksi. Pada pukul 10:19 WIB, harga minyak brent turun 0,72% dan light sweet berkurang 0,86%. 

Koreksi ini wajar karena harga si emas hitam sudah melesat tajam beberapa waktu terakhir. Selama sepekan ini, harga minyak brent melonjak 3,33% sementara light sweet melejit 3,19%. Sedangkan selama sebulan terakhir, harga brent melompat 16,62% dan light sweet meroket 17,62%. 

Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah. 

Defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 

Namun, rupiah (dan mata uang Asia lainnya) juga ditarik oleh sentimen negatif eksternal yaitu proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perkiraan teranyar, Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%. Beberapa faktor yang menjadi pemberat laju pertumbuhan ekonomi global adalah perlambatan ekonomi di China dan kemungkinan No Deal Brexit.  

"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters. 

Proyeksi IMF ini membuat pasar kurang trengginas, ada keragu-raguan. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, bisa saja investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan Indonesia. 

Akibat rilis dari IMF, rupiah pun bergerak labil. Investor yang merespons positif perkembangan harga minyak menjadi agak hati-hati karena risiko perlambatan ekonomi global. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular