
IMF Bikin Rupiah Labil
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2019 10:31

Penopang rupiah hari ini adalah harga minyak dunia yang masih terkoreksi. Pada pukul 10:19 WIB, harga minyak brent turun 0,72% dan light sweet berkurang 0,86%.
Koreksi ini wajar karena harga si emas hitam sudah melesat tajam beberapa waktu terakhir. Selama sepekan ini, harga minyak brent melonjak 3,33% sementara light sweet melejit 3,19%. Sedangkan selama sebulan terakhir, harga brent melompat 16,62% dan light sweet meroket 17,62%.
Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Namun, rupiah (dan mata uang Asia lainnya) juga ditarik oleh sentimen negatif eksternal yaitu proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perkiraan teranyar, Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%. Beberapa faktor yang menjadi pemberat laju pertumbuhan ekonomi global adalah perlambatan ekonomi di China dan kemungkinan No Deal Brexit.
"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters.
Proyeksi IMF ini membuat pasar kurang trengginas, ada keragu-raguan. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, bisa saja investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan Indonesia.
Akibat rilis dari IMF, rupiah pun bergerak labil. Investor yang merespons positif perkembangan harga minyak menjadi agak hati-hati karena risiko perlambatan ekonomi global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Koreksi ini wajar karena harga si emas hitam sudah melesat tajam beberapa waktu terakhir. Selama sepekan ini, harga minyak brent melonjak 3,33% sementara light sweet melejit 3,19%. Sedangkan selama sebulan terakhir, harga brent melompat 16,62% dan light sweet meroket 17,62%.
Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah.
Namun, rupiah (dan mata uang Asia lainnya) juga ditarik oleh sentimen negatif eksternal yaitu proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perkiraan teranyar, Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%. Beberapa faktor yang menjadi pemberat laju pertumbuhan ekonomi global adalah perlambatan ekonomi di China dan kemungkinan No Deal Brexit.
"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters.
Proyeksi IMF ini membuat pasar kurang trengginas, ada keragu-raguan. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, bisa saja investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan Indonesia.
Akibat rilis dari IMF, rupiah pun bergerak labil. Investor yang merespons positif perkembangan harga minyak menjadi agak hati-hati karena risiko perlambatan ekonomi global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular