Diselimuti Sentimen Negatif, IHSG Hanya Naik Terbatas

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 January 2019 17:23
Diselimuti Sentimen Negatif, IHSG Hanya Naik Terbatas
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah menguat 0,49% pada akhir perdagangan sesi 1 ke level 6.444,86, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan dengan penguatan sebesar 0,16% saja ke level 6.423,78.

Nilai transaksi pada hari ini, Kamis (17/1/2019) tercatat sebesar Rp 9,3 triliun dengan volume sebanyak 14,44 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 541.976 kali.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang diperdagangkan melemah: indeks Nikkei turun 0,2%, indeks Shanghai turun 0,42%, indeks Hang Seng turun 0,54%, dan indeks Straits Times turun 0,56%.

Sejumlah sentimen negatif memang menghantui jalannya perdagangan di kawasan Asia. Pertama, anggota parlemen AS kemarin (16/1/2019) memperkenalkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan melarang penjualan cip buatan AS beserta komponen lainnya kepada Huawei, ZTE Corp, dan perusahaan telekomunikasi China lainnya yang melanggar sanksi AS atau peraturan terkait ekspor.

RUU ini diperkenalkan tidak lama menjelang laporan dari Wall Street Journal yang menyebut bahwa aparat hukum AS sedang melakukan investigasi terhadap Huawei. Investigasi ini terkait dengan tuduhan bahwa Huawei telah mencuri teknologi dari rekannya di AS seperti raksasa penyedia jasa layanan telekomunikasi T-Mobile.

'Serangan' dari AS kepada Huawei lantas berpotensi membuat hubungan AS dengan China yang kini sedang mesra menjadi renggang.

Sentimen negatif yang kedua datang dari kisruh terkait dengan proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Kemarin, Perdana Menteri Inggris Theresa May berhasil lolos dari ancaman digulingkan dari pemerintahan setelah memenangkan pemungutan suara atas mosi tidak percaya di parlemen dengan skor 325 berbanding 306. Kemenangan tipis, tetapi cukup untuk mengamankan posisi May.

Namun masalah di Inggris belum selesai, karena waktu semakin dekat menuju 29 Maret 2019, tanggal resmi Inggris keluar dari Uni Eropa. Inggris bisa saja keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit) karena proposal yang diusung pemerintah tidak disetujui parlemen.

Jika tak ingin No Deal Brexit terjadi, May harus bekerja keras untuk mengamankan dukungan dari parlemen atas kesepakatan Brexit yang diajukannya. Pasalnya, Uni Eropa sudah mengatakan bahwa tidak ada opsi renegosiasi pasca mendengar bahwa May kalah telak dalam pemungutan suara atas proposal Brexit.

Sentimen negatif terakhir datang dari rilis data ekonomi di kawasan regional. Pada pagi ini, ekspor non minyak Singapura periode Desember 2018 diumumkan anjlok hingga 8,5% YoY, jauh di bawah konsensus Trading Economics yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,5% YoY.

Akibat anjloknya ekspor non minyak, surplus neraca dagang bulan Desember menipis menjadi SG$ 1,94 miliar, dari yang sebelumnya SG$ 3,8 miliar pada bulan November.
Beruntung, angin segar yang datang dari China masih terasa di Tanah Air. Pada hari Selasa (15/1/2019), Kementerian Keuangan China mengatakan bahwa mereka akan mengimplimentasikan pemotongan pajak dan biaya yang lebih besar. Hal ini dilakukan guna meredam perlambatan ekonomi yang sedang terjadi di Negeri Panda.

Melansir Reuters, beberapa analis percaya bahwa China dapat memberlakukan pemotongan pajak dan biaya senilai CNY 2 triliun. Selain itu, China juga diyakini akan memperbolehkan pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi khusus (special bond) senilai CNY 2 triliun yang sebelumnya banyak digunakan untuk membiayai proyek-proyek penting.

Kemudian kemarin, People's Bank of China selaku bank sentral China menyuntikkan dana senilai CNY 560 miliar (US$ 83 miliar) ke perbankan mealui operasi pasar terbuka. Suntikan sebesar CNY 560 miliar tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah China. Dengan likuiditas yang kian longgar, suku bunga kredit diharapkan bisa ditekan dan memacu laju perekonomian China.

Pada hari ini, China lagi-lagi membawa angin segar bagi pasar saham tanah air. Terlepas dari ‘serangan’ AS kepada Huawei, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa Wakil Perdana Menteri Liu He yang merupakan tokoh penting dalam negosiasi dagang kedua negara akan berkunjung ke Washington pada 30 dan 31 Januari.

Sayang, pengumuman ini terjadi kala perdagangan di mayoritas bursa saham regional sudah ditutup, sehingga dampaknya menjadi tak dirasakan oleh mereka.

Liu He akan bertemu dengan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, tokoh penting lainnya dalam negosiasi dagang AS-China.

Sejauh ini, perekonomian kedua negara terlihat sudah tertekan oleh perang dagang yang selama ini berkecamuk. Lantas, kunjungan Liu He ke Washington menimbulkan harapan bahwa damai dagang secara permanen bisa dicapai. Jika ini yang terjadi, perekonomian AS dan China tentu bisa dipacu untuk melaju lebih kencang. Sektor jasa keuangan (+0,49%) memimpin laju IHSG. Penguatan sektor jasa keuangan terjadi seiring dengan aksi beli atas saham-saham bank BUKU 4: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) naik 0,96%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) naik 0,85%, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) naik 0,79%.

Saham-saham bank BUKU 4 diincar investor salah satunya karena keputusan Bank Indonesia (BI) yang menahan suku bunga acuan atau 7 Day Reverse Repo Rate di angka 6%.  Keputusan ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.

Dengan tak dinaikannya suku buga acuan, maka bank tak perlu mengerek suku bunga deposito yang pada akhirnya berpotensi menekan net interest margin (NIM). Sepanjang 9 bulan pertama tahun 2018, NIM dari bank-bank BUKU 4 tertekan lantaran kenaikan suku bunga deposito tak bisa di pass through kepada suku bunga kredit.

Sepanjang 9 bulan pertama 2018, NIM dari BMRI tercatat sebesar 5,76%, turun 10 bps dari posisi 9 bulan pertama tahun 2017 yang sebesar 5,86%. Sementara itu, NIM dari BBNI turun 20 bps menjadi 5,3%, dari yang sebelumnya 5,5%.

NIM dari BBRI tergerus 42 bps menjadi 7,49%, dari yang sebelumnya 7,91% pada 9 bulan pertama tahun 2017. NIM dari BBCA turun 10 bps menjadi 6,1%, dari yang sebelumnya 6,2%.

Investor asing terlihat begitu bersemangat dalam mengoleksi saham-saham bank BUKU 4. BBCA dibeli bersih senilai Rp 426,4 miliar oleh investor asing, terbesar dibandingkan beli bersih pada saham-saham lainnya. Sementara itu, BBRI dan BMRI dibeli bersih masing-masing senilai Rp 290,3 miliar dan Rp 136,6 miliar.

Secara total, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 1,61 triliun di pasar saham tanah air, menandai beli bersih selama 14 hari berturut-turut.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular