Sempat Turbulensi, Ini Alasan IHSG Finis di Atas 6.400

tahir saleh & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 January 2019 17:15
Sempat Turbulensi, Ini Alasan IHSG Finis di Atas 6.400
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami turbulensi yang cukup parah pada perdagangan hari ini. Dibuka menguat 0,13% ke level 6.417,13, IHSG sempat jatuh ke zona merah sebelum kemudian menguat 0,19% per akhir sesi 1 ke level 6.420,9.

Menjelang akhir sesi 2, IHSG kembali jatuh ke zona merah namun pada akhirnya finis menguat 0,07% ke level 6.413,36. Setelah itu IHSG berhasil bertahan di atas level psikologis 6.400 yang kemarin dilewati untuk kali pertama sejak Maret 2018.

Performa IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan menguat: indeks Shanghai naik 0,08 poin, indeks Hang Seng naik 71,81 poin (+0,27%), indeks Straits Times naik 8,97 poin (+0,28%), dan indeks Kospi naik 8,92 poin (+0,43%).

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 10,08 triliun dengan volume sebanyak 13,6 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 516.125 kali.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kenaikan IHSG adalah: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,53%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+2,78%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,23%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,48%), dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (+3,88%).
Nasib Perdana Menteri Inggris Theresa May yang berada di ujung tanduk justru membuat investor senang. Pada dini hari tadi, proposal Brexit yang diusung pemerintahan May ditolak oleh parlemen dengan hasil 432 berbanding 202. Ini adalah kekalahan pemerintah terbesar dalam sejarah Inggris modern.

Menanggapi hasil tersebut, pimpinan Partai Buruh Jeremy Corbyn kemudian mengajukan pelaksanaan pemungutan suara atas mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan May. Pemungutan suara akan dilakukan pada hari ini.

Jika May lengser nantinya, Corbyn menjadi kandidat kuat untuk menempati posisi perdana menteri. Kehadiran pimpinan baru diharapkan akan membuat negosiasi dengan Uni Eropa menjadi mungkin untuk dibuka kembali sehingga proses Brexit bisa lebih mulus. Apalagi, renegosiasi memang merupakan rencana Corbyn jika dipercaya menjadi perdana menteri.

Sebelumnya, Uni Eropa sudah menyatakan bahwa tidak ada opsi untuk renegosiasi pasca mendengar bahwa May kalah telak di parlemen.

Hingga sore hari ini, poundsterling menguat sebesar 0,22% melawan dolar AS di pasar spot ke level 1,2886.

Selain itu, ada angin segar bagi bursa saham regional yang datang dari China. Rilis data perdagangan internasional China periode Desember 2018 menunjukkan adanya tekanan yang signifikan bagi perekonomian Negeri Panda.

Pada hari Senin (14/1/2019), ekspor periode Desember 2018 dimumkan terkontraksi sebesar 4,4% YoY, di bawah konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 3% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Kemudian, impor anjlok hingga 7,6% YoY, juga di bawah ekspektasi yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 5% YoY.

Pemerintah China terlihat responsif dalam menanggapi hal tersebut. Kemarin, Kementerian Keuangan China mengatakan bahwa mereka akan mengimplimentasikan pemotongan pajak dan biaya yang lebih besar.

Melansir Reuters, beberapa analis percaya bahwa China dapat memberlakukan pemotongan pajak dan biaya senilai CNY 2 triliun. Selain itu, China juga diyakini akan memperbolehkan pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi khusus (special bond) senilai CNY 2 triliun yang sebelumnya banyak digunakan untuk membiayai proyek-proyek penting. Di sisi lain, dua sentimen negatif membatasi laju bursa saham Asia pada hari ini. Pertama, komentar Gubernur European Central Bank (ECB) Mario Draghi. Berbicara di hadapan Parlemen Eropa, Draghi mengatakan bahwa perekonomian zona euro telah secara mengagetkan melemah seiring dengan tekanan yang berasal dari luar blok mata uang euro tersebut, seperti perlambatan ekonomi China.

Padahal, ECB baru saja mengakhiri program pembelian obligasi pemerintah dan korporasi (quantitative easing) pada Desember 2018 lalu.

Sentimen negatif yang kedua bagi bursa saham Asia datang seiring dengan kisruh terkait dengan penutupan sebagian pemerintahan AS (partial government shutdown). Hingga kini, terhitung sudah 25 hari pemerintahan AS berjalan dengan pincang, menjadikannya yang terpanjang di era modern.

Shutdown kali ini terjadi lantaran partai Republik dan Demokrat tak mampu menyepakati anggaran belanja negara, seiring dengan adanya ketidaksepahaman mengenai anggaran untuk pembangunan infrastruktur perbatasan AS-Meksiko.

Pemerintahan Presiden Donald Trump kini memproyeksikan bahwa kerugian akibat shutdown adalah dua kali lebih besar dari yang diekspektasikan sebelumnya, menurut seorang sumber dari kalangan pemerintahan yang tak ingin disebutkan namanya, seperti dikutip dari CNBC International.

Pada awalnya, pemerintah memproyeksikan bahwa shutdown akan memangkas pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1% setiap 2 minggu. Kini, diproyeksikan bahwa setiap minggunya shutdown akan membuat pertumbuhan ekonomi terpangkas sebesar 0,1%.

Perubahan ini terjadi lantaran pemerintah memperhitungkan kerugian dari kontraktor yang tak bisa melakukan bisnis dengan pemerintah, serta macetnya anggaran belanja dan fungsi-fungsi pemerintahan.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular