Rupiah Boleh Ngerem, Tapi Masih Nomor 1 di Asia!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 January 2019 10:31
Rupiah Boleh <i>Ngerem</i>, Tapi Masih Nomor 1 di Asia!
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs acuan. Di pasar spot, rupiah sejauh ini juga masih menang melawan greenback. 

Pada Kamis (10/1/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.093. Rupiah menguat 0,19% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Sejak akhir 2018, rupiah masih unggul di hadapan dolar AS di kurs acuan. Bahkan penguatan rupiah cukup tajam, mencapai 2,75%. 

Sementara di pasar spot, rupiah juga masih terjaga di zona hijau. Pada pukul 10:05 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.070 di mana rupiah menguat 0,35%. 

Rupiah masih lumayan nyaman di area apresiasi, meski penguatannya agak menipis. Kala pembukaan pasar spot, rupiah menguat 0,5% dan bahkan sempat menebal ke kisaran 0,6%. 


Namun walau rupiah agak ngerem, kinerja mata uang ini cukup membanggakan. Dengan penguatan 0,35%, rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia. Dalam hal penguatan terhadap dolar AS, tidak ada mata uang Benua Kuning yang lebih baik dari rupiah. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:08 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah dan berbagai mata uang Asia mampu memanfaatkan tekanan yang dihadapi dolar AS. Pada pukul 10:11 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih terkoreksi 0,08%. 

Hari ini, pemberat langkah dolar AS adalah rilis data notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Desember 2018. Dalam notulensi tersebut, terlihat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega sudah menunjukkan sikap yang tidak lagi agresif. 

"Banyak dari peserta rapat menyampaikan pandangan bahwa, terutama melihat perkembangan inflasi yang senyap, Komite bisa bersabar dalam hal penerapan kebijakan moneter yang lebih ketat. Beberapa peserta rapat juga menyebutkan bahwa sebelum The Fed kembali menaikkan suku bunga, ada baiknya mempertimbangkan berbagai risiko yang semakin nyata dalam beberapa bulan terakhir," papar notulensi itu. 

Sikap The Fed yang semakin hati-hati mengarah ke dovish ini membuat prospek kenaikan suku bunga acuan di AS semakin suram. Pertemuan komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) berikutnya adalah pada 30 Januari. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas The Fed untuk menahan suku bunga acuan di 2,25-2,5% adalah 98,4%. 

Kemudian pada rapat FOMC 20 Maret, Federal Funds Rate juga diperkirakan belum naik. CME Fedwatch mencatat kemungkinan suku bunga acuan ditahan mencapai 96,9%. 

Tanpa kenaikan suku bunga acuan (setidaknya dalam waktu dekat), berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik. Permintaan dolar AS berkurang sehingga nilainya melemah. Rupiah mampu memanfaatkan tekanan ini dengan kembali mencetak apresiasi.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun apresiasi rupiah yang agak berkurang perlu diwaspadai. Sebab, ada faktor yang bisa membuat investor menjauhi pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. 

Biro Statistik China menyebutkan, inflasi di tingkat produsen (PPI) pada Desember 2018 sebesar 0,9% year-on-year (YoY). Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2016. 

Sementara inflasi di tingkat konsumen (CPI) tercatat 1,9% YoY. Lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 2,1% YoY. 

Kemudian China Passenger Car Association merilis data penjualan mobil di China sepanjang 2018 sebanyak 22,35 juta unit. Turun 5,8% dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan pertama sejak 1992. 

Data-data tersebut memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu bukan sekadar mitos. Baik produsen maupun konsumen sama-sama kurang agresif bin ekspansif. 

China adalah perekonomian terbesar di Asia. Apabila ekonomi China melambat, maka dampaknya akan menyebar ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. 

Ekspor China bisa saja berkurang karena penurunan permintaan domestik. Penurunan ekspor China akan sangat mempengaruhi Indonesia, karena China adalah negara tujuan ekspor nomor 1.

Data Badan Pusat Startistik (BPS) menunjukkan, sepanjang Januari-November 2018, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China adalah US% 22,7 miliar. Porsinya mencapai 15,12% dari total ekspor non-migas.

Jika ekspor Indonesia melambat gara-gara penurunan permintaan China, maka pertumbuhan ekonomi nasional juga ikut terhambat. Sentimen negatif ini bisa menjadi beban bagi laju rupiah. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular