
Berkat China dan Bank Indonesia, Rupiah No 1 di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 January 2019 12:33

Faktor eksternal dan domestik sama-sama mendukung penguatan rupiah. Dari sisi eksternal, serangkaian kabar baik dari China membuat investor kembali melirik pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan di Beijing pada 7-8 Januari. Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu yang menghasilkan 'gencatan senjata' selama 90 hari.
Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan Washington-Beijing memang semakin mesra. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar.
Masih dari Negeri Tirai Bambu, investor juga sepertinya memberi apresiasi terhadap komitmen pemerintah China untuk mengawal perekonomian agar tidak mengalami hard landing. Mengutip Reuters, Perdana Menteri China Li Keqiang menegaskan pemerintah siap memangkas tarif pajak untuk mendukung dunia usaha, terutama pengusaha kecil-menengah.
Kemarin, Bank Sentral China (PBoC) juga telah mengurangi Giro Wajib Minimum (GWM) agar perbankan bisa lebih banyak menyalurkan kredit. Lembaga keuangan yang menyalurkan kredit kurang dari 10 juta yuan dalam porsi tertentu akan mendapatkan insentif berupa pengurangan GWM.
Komitmen pemerintah dan bank sentral China diharapkan mampu menjaga performa ekonomi Negeri Bambu agar tidak melambat terlalu parah. Hal ini mendapat tanggapan positif dari pelaku pasar.
Sementara dari dalam negeri, penguatan rupiah juga disebabkan oleh intervensi Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, mengungkapkan bank sentral masih melakukan intervensi di pasar Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).
"BI memberikan ruang yang besar bagi penguatan rupiah lebih lanjut," tutur Nanang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan di Beijing pada 7-8 Januari. Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu yang menghasilkan 'gencatan senjata' selama 90 hari.
Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan Washington-Beijing memang semakin mesra. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar.
Masih dari Negeri Tirai Bambu, investor juga sepertinya memberi apresiasi terhadap komitmen pemerintah China untuk mengawal perekonomian agar tidak mengalami hard landing. Mengutip Reuters, Perdana Menteri China Li Keqiang menegaskan pemerintah siap memangkas tarif pajak untuk mendukung dunia usaha, terutama pengusaha kecil-menengah.
Kemarin, Bank Sentral China (PBoC) juga telah mengurangi Giro Wajib Minimum (GWM) agar perbankan bisa lebih banyak menyalurkan kredit. Lembaga keuangan yang menyalurkan kredit kurang dari 10 juta yuan dalam porsi tertentu akan mendapatkan insentif berupa pengurangan GWM.
Komitmen pemerintah dan bank sentral China diharapkan mampu menjaga performa ekonomi Negeri Bambu agar tidak melambat terlalu parah. Hal ini mendapat tanggapan positif dari pelaku pasar.
Sementara dari dalam negeri, penguatan rupiah juga disebabkan oleh intervensi Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, mengungkapkan bank sentral masih melakukan intervensi di pasar Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).
"BI memberikan ruang yang besar bagi penguatan rupiah lebih lanjut," tutur Nanang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular