
Optimistis The Fed Tak Gahar Lagi, IHSG Berpeluang Untung
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 January 2019 15:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan The Federal Reserve (The Fed) selaku Bank Sentral AS yang tak populer selama 2018 menjadi momok yang menakutkan bagi bursa saham dunia. Di saja AS, bursa saham Wall Street bisa dibuat pontang-panting dan tercatat berkinerja terburuk sejak krisis keuangan global pada tahun 2008, dimana Dow Jones anjlok 5,6%, S&P 500 ambruk 6,2%, dan Nasdaq Composite terpangkas 3,9%.
Hal serupa terjadi pula di kawasan Asia Pasifik, dari 8 negara yang imbal hasil indeks saham utamanya kami hitung, hanya India yang hasilnya positif; Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 2,54% sepanjang tahun lalu.
The Fed menjadi momok lantaran normalisasinya yang terbilang agresif. Pasca mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun 2017, bank sentral menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun lalu dengan total 100 bps.
Di satu sisi, normalisasi yang begitu agresif menjadi bukti bahwa perekonomian AS sedang tumbuh dengan pesat sehingga perlu agak direm. Pada kuartal-I, II, dan III 2018 secara berturut-turut, perekonomian AS tumbuh sebesar 2%, 4,2%, dan 3,4% (QoQ annualized). Capaian tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan capaian pada kuartal-I-III 2017 yang masing-masing sebesar 1,4%, 3,1%, dan 3,2%.
Namun ditengah panasnya perang dagang, dikhawatirkan normalisasi yang kelewat agresif akan memukul mundur laju perekonomian dunia secara signifikan. Apalagi, The Fed memproyeksikan masih akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun ini senilai 50 bps.
Lantas, benarkah suku bunga acuan akan dikerek 2 kali pada tahun ini?
Menariknya, pelaku pasar justru melakukan price-in yang berbeda dengan apa yang diproyeksikan oleh The Fed terkait dengan kenaikan suku bunga acuan. Berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 1 Januari 2019, probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% (tidak ada kenaikan suku bunga acuan) pada akhir tahun 2019 adalah sebesar 73,4%, lebih tinggi dibandingkan posisi 1 bulan lalu yang sebesar 25,4%.
Ini artinya, mayoritas pelaku pasar meyakini bahwa suku bunga acuan di AS tak akan naik sama sekali pada tahun ini.
Memang, berbicara di hadapan wartawan selepas pertemuan bulan Desember selesai digelar, Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan sinyal yang kuat bahwa arah kebijakan bank sentral masih belum pasti.
“Ada ketidakpastian besar terkait jalur maupun tujuan akhir dari kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut,” papar Powell.
“Inflasi masih berada sedikit di bawah level 2%. Jadi saya berpikir bahwa itu memberikan Komite ruang untuk bersabar dalam melaju kedepannya.”
Keraguan pelaku pasar nampak timbul lantaran rilis data ekonomi di AS belakangan ini terus mengindikasikan sinyal perlambatan.
Untuk tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh sebesar 2,9%, sebelum kemudian melandai ke level 2,5% pada tahun 2019. Dengan dampak pemotongan pajak individu dan korporasi yang masih segar terasa saja, pertumbuhan ekonomi AS tak mampu mencapai level 3% atau level yang merupakan target dari pemerintahan Donald Trump.
Pelaku pasar melihat bahwa tingkat FFR di level 2,25-2,5% sudah merupakan level netral sehingga tak perlu normalisasi lanjutan. Dengan melihat bahwa pelaku pasar justru melakukan price-in atas tak adanya kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2019, menjadi masuk akal jika indeks dolar AS cenderung bergerak turun pasca The Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari tanggal 20 Desember waktu Indonesia.
Jika rilis data ekonomi di AS kedepannya terus mengindikasikan perlambatan ekonomi, pelaku pasar bisa dibuat kian yakin bahwa Powell dan kolega akan sepenuhnya meninggalkan rencana normalisasi yang ada untuk tahun 2019. Pada akhirnya, dolar AS bisa terus kehilangan pijakan dan rupiah akan mendapatkan momentum untuk menguat.
Sepanjang 2018, salah satu hal yang menjadi momok bagi IHSG adalah aksi jual investor asing, dengan nilai bersih mencapai Rp 50,75 triliun, tertinggi dalam setidaknya 15 tahun terakhir.
Pelemahan rupiah memiliki andil yang besar dibalik derasnya arus modal asing yang mengalir keluar dari pasar saham Indonesia. ini. Sepanjang tahun ini, rupiah melemah hingga 5,97% melawan dolar AS di pasar spot.
Jika rupiah berhasil memanfaatkan momentum yang ada nantinya, investor asing bisa didorong untuk kembali masuk ke pasar saham tanah air dan besar kemungkinan IHSG akan mampu mengukir catatan positif di tahun 2019.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Terpuruk Lagi karena "Kegilaan" Trump
Hal serupa terjadi pula di kawasan Asia Pasifik, dari 8 negara yang imbal hasil indeks saham utamanya kami hitung, hanya India yang hasilnya positif; Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sebesar 2,54% sepanjang tahun lalu.
The Fed menjadi momok lantaran normalisasinya yang terbilang agresif. Pasca mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun 2017, bank sentral menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun lalu dengan total 100 bps.
Namun ditengah panasnya perang dagang, dikhawatirkan normalisasi yang kelewat agresif akan memukul mundur laju perekonomian dunia secara signifikan. Apalagi, The Fed memproyeksikan masih akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun ini senilai 50 bps.
Lantas, benarkah suku bunga acuan akan dikerek 2 kali pada tahun ini?
Ini artinya, mayoritas pelaku pasar meyakini bahwa suku bunga acuan di AS tak akan naik sama sekali pada tahun ini.
Memang, berbicara di hadapan wartawan selepas pertemuan bulan Desember selesai digelar, Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan sinyal yang kuat bahwa arah kebijakan bank sentral masih belum pasti.
“Ada ketidakpastian besar terkait jalur maupun tujuan akhir dari kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut,” papar Powell.
“Inflasi masih berada sedikit di bawah level 2%. Jadi saya berpikir bahwa itu memberikan Komite ruang untuk bersabar dalam melaju kedepannya.”
Keraguan pelaku pasar nampak timbul lantaran rilis data ekonomi di AS belakangan ini terus mengindikasikan sinyal perlambatan.
Untuk tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh sebesar 2,9%, sebelum kemudian melandai ke level 2,5% pada tahun 2019. Dengan dampak pemotongan pajak individu dan korporasi yang masih segar terasa saja, pertumbuhan ekonomi AS tak mampu mencapai level 3% atau level yang merupakan target dari pemerintahan Donald Trump.
Pelaku pasar melihat bahwa tingkat FFR di level 2,25-2,5% sudah merupakan level netral sehingga tak perlu normalisasi lanjutan. Dengan melihat bahwa pelaku pasar justru melakukan price-in atas tak adanya kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2019, menjadi masuk akal jika indeks dolar AS cenderung bergerak turun pasca The Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari tanggal 20 Desember waktu Indonesia.
Jika rilis data ekonomi di AS kedepannya terus mengindikasikan perlambatan ekonomi, pelaku pasar bisa dibuat kian yakin bahwa Powell dan kolega akan sepenuhnya meninggalkan rencana normalisasi yang ada untuk tahun 2019. Pada akhirnya, dolar AS bisa terus kehilangan pijakan dan rupiah akan mendapatkan momentum untuk menguat.
Sepanjang 2018, salah satu hal yang menjadi momok bagi IHSG adalah aksi jual investor asing, dengan nilai bersih mencapai Rp 50,75 triliun, tertinggi dalam setidaknya 15 tahun terakhir.
Pelemahan rupiah memiliki andil yang besar dibalik derasnya arus modal asing yang mengalir keluar dari pasar saham Indonesia. ini. Sepanjang tahun ini, rupiah melemah hingga 5,97% melawan dolar AS di pasar spot.
Jika rupiah berhasil memanfaatkan momentum yang ada nantinya, investor asing bisa didorong untuk kembali masuk ke pasar saham tanah air dan besar kemungkinan IHSG akan mampu mengukir catatan positif di tahun 2019.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Terpuruk Lagi karena "Kegilaan" Trump
Most Popular