Perjuangan BI Jaga Rupiah di Sepanjang Tahun Penuh Tantangan

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
31 December 2018 08:18
Upaya BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun 2018.
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Selama tiga dasawarsa terakhir, 2018 merupakan tahun yang paling menantang bagi perekonomian Indonesia. Guncangan demi guncangan global secara bertubi-tubi mendera ekonomi Indonesia.

Hal ini terlihat dari besarnya tekanan yang tanpa jeda menghantam nilai tukar rupiah sepanjang 2018. Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas perekonomian, tampaknya tidak pernah pernah lelah terus berjuang sampai penutupan akhir tahun.


Bank sentral melalui jajarannya selalu siaga berada di pasar merespons setiap tekanan, serta melakukan berbagai inovasi untuk memastikan kepercayaan pasar terhadap rupiah tetap terjaga.

Baru saja tahun 2017 pasar obligasi negara dibanjiri arus modal asing yang mencapai Rp 170 triliun, memasuki lembaran baru 2018 modal tersebut mulai kembali berbalik ke luar. Pasalnya, ekonomi Amerika Serikat (AS) ternyata semakin solid.

Ini memicu spekulasi bank sentral AS Federal Reserve akan kembali menaikkan suku bunganya sebesar 25 bps. Di Februari 2018 investor asing pun bergegas menarik kembali modal dari pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN).

Dalam rapat komite kebijakan moneter, The Fed terbukti menaikkan suku bunga dari 1.50% menjadi 1.75%.

Perjuangan BI Jaga Rupiah di Sepanjang Tahun Penuh TantanganFoto: Rupiah dan Intervensi BI di 2018 (Foto: CNBC Indonesia/Herdaru Purnomo dari berbagai sumber)

Rupiah pun bersama mata uang lain di seluruh dunia terseret tekanan dolar AS. Tekanan tidak berhenti di sini.

Presiden AS Donald Trump lewat segenap aksinya mengancam mengenakan sanksi ke Iran lantaran tidak terbukti menghentikan proyek nuklir, serta menekan Korea Utara untuk segera menghentikan proyek nuklirnya.

Karena merasa percaya diri dengan ekonomi AS yang semakin kuat, Trump juga mulai mengibarkan perang dagang dengan China. Memanasnya suhu geopolitik dan perang dagang menyebabkan investor memburu dolar, menekan rupiah.

Selama April 2018 diduga Bank Indonesia bekerja sangat keras menjaga Rupiah dengan intervensi yang gencar di pasar spot agar mata uang Garuda ini tidak terseret tajam.

Namun laju ekonomi AS tidak terbendung. Memasuki Mei 2018, tingkat pengangguran AS terus menurun ke tingkat terendah 3,9% dan inflasi mulai meningkat. Ini memperkuat keyakinan pasar bahwa The Fed akan semakin kencang menaikkan suku bunga.

Perjuangan BI Jaga Rupiah di Sepanjang Tahun Penuh TantanganFoto: Ilustrasi demo (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Di belahan benua lain, justru diselimuti awan mendung. Di Eropa, situasi politik Italia memanas pasca-kemenangan parta sayap kiri, sementara perundingan Brexit nyaris mengalami kebuntuan, dan nilai tukar lira Turki merosot sekitar 5% dipicu pelarian modal asing. Merosotnya mata uang Turki menular ke seluruh mata uang negara berkembang termasuk rupiah.

Kembali lagi, Bank Indonesia diduga menjaga rupiah habis-habisan, bahkan berhasil menggiring rupiah kembali menguat selama awal Juni, dari yang sempat melemah ke Rp 14.250/US$ kembali ke Rp 13.900/US$.

Direktur Eksekutif yang mengepalai Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia mengakui tekanan terhadap Rupiah di Mei sampai awal Juni 2018 sangat besar.

Menurut dia, selain karena tekanan dari global yang bertubi-tubi, besarnya pembelian valas oleh korporasi domestik yang sangat besar membuat tekanan pelemahan Rupiah luar biasa besarnya.

"Ini karena banyak korporasi yang melakukan frontloading dengan memborong dolar besar-besaran mengantisipasi pasar valuta asing yang tutup terkait libur nasional yang panjang pada pekan ketiga dan empat Juni 2018," ungkap Nanang kepada CNBC Indonesia.

Tekanan terhadap Rupiah berlanjut di bulan Juli sampai September 2018 sehingga Rupiah bergerak ke Rp 14.500/US$.

AS dan China mulai saling balas perang tarif impor, di tengah ekonomi China semakin kehilangan tenaga. Nilai tukar Yuan China pun merosot yang berdampak ke pelemahan seluruh mata uang Asia.


Pasar juga mulai kehilangan kepercayaan karena Trump mulai menyuarakan keresahannya terhadap langkah kenaikkan suku bunga oleh the Fed. Memasuki Agustus, AS-China kembali melanjutkan perang tarif dagang mendorong investor menyelamatkan dana dari negara negara berkembang yang dipandang berisiko.

Peso Argentina dan Lira Turki menjadi korban pertama dengan terdepresiasi hingga 20%, yang juga menekan seluruh mata uang negara emerging markets termasuk rupiah yang menembus ke atas Rp 14.500/US$.

Bank Indonesia sepertinya terus menahan agar Rupiah tidak merosot terlalu dalam. Terindikasi terdapat beberapa periode Rupiah terjaga stabil terutama cukup lama di sekitar Rp 14.400/US$ di tengah tekanan yang hebat dari global.

Puncak tekanan terhadap Rupiah terjadi di Oktober ketika yield obligasi AS naik ke 3.3% bersamaan dengan munculnya ketegangan politik AS- Arab Saudi pasca-terbunuhnya wartawan Arab Jamal Khashoggi, usulan fiskal pemerintah baru Italia yang ditolak komisi Uni Eropa, serta ekonomi Jerman, Prancis, dan China yang semakin menunjukkan kehilangan tenaga.

Ini semua semakin memperburuk keyakinan pasar mengenai prospek ekonomi global. Dolar AS pun semakin diburu investor, menekan seluruh mata uang dunia termasuk rupiah, yang sempat terseret ke 15.230.

Kekuatan Bank Indonesia untuk membuat rupiah perkasa mulai terbantu dengan dikembangkannya pasar DNDF (Domestik Non-Deliverable Forward) per 1 November 2018. Sejak awal November, Rupiah pun menguat dari level terlemahnya di Rp 15.200/US$ ke kisaran level saat ini antara Rp 14.400 - Rp 14.600/US$ di Desember.

Nanang mengatakan kepada CNBC Indonesia, selama dua puluh tahun terakhir, kurs spot Rupiah di domestik sangat dipengaruhi oleh pergerakan kurs NDF di pasar luar negari yang sangat liar.

"Banyak para trader di pasar finansial luar negeri yang mengerek kurs NDF naik ketika "trading time zone" Jakarta berakhir pukul 16.00, yang kemudian berpengaruh ke pasar spot domestik pada esok harinya," katanya.

Perjuangan BI Jaga Rupiah di Sepanjang Tahun Penuh TantanganFoto: Direktur Eksekutif yang mengepalai Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah (CNBC Indonesia)

Menurut Nanang, sekarang Bank Indonesia bisa membendung liarnya kurs NDF luar negeri dengan menghadangnya pada pukul 8.30 WIB di mana Bank Indonesia melakukan intervensi DNDF melalui metode lelang dan intervensi secara bilateral dengan perbankan domestik.

Bagusnya, intervensi DNDF ini juga tidak memerlukan cadangan devisa karena pembayarannya hanya dalam Rupiah.

"Itupun hanya selisih antara kurs DNDF dan JISDOR pada saat hari fixing dua hari sebelum kontak jatuh tempo."

Dengan "instrument mix" ini, intervensi yang dilakukan melalui spot bisa dilakukan dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Nanang memastikan, dengan dukungan penuh Bank Indonesia, diyakini pasar DNDF akan terus berkembang, likuid, dan efisien.

"Ini penting, karena akan tersedia alternatif instrument lindung nilai (market risk) baik bagi investor asing maupun dunia usaha dalam negeri yang tidak memerlukan penyerahan dalam dolar, dan juga akan membuat pasar NDF luar negeri bisa lebih dikendalikan karena akan selalu mengacu ke pasar DNDF," papar Nanang.


Menjelang penutupan akhir tahun 2018 kombinasi intervensi melalui DNDF dan spot juga dilakukan karena di luar kebiasaan, memasuki Desember 2018 pasar keuangan global justru mendapat tekanan yang besar, sehubungan eskalasi risiko politik di AS.

Harga saham di AS yang biasanya mengalami reli di akhir tahun, justru terperosok tajam sehingga memicu sell-off di seluruh bursa saham global.

"Bank Indonesia akan memastikan rupiah terjaga stabil hingga hari terakhir penutupan tahun 2018, agar perekonomian nasional terjaga kondusif," tutup Nanang.


(prm) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular