Bad News 2018

2018 Bukan Mantan Terindah Buat Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 December 2018 06:46
PR Lama Belum Kelar Juga
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Arie Pratama)
Selain faktor strong dollar, ada pula tekanan domestik yang menambah luka rupiah. Seperti beberapa tahun lalu, kata-kata defisit transaksi berjalan (current account deficit) menjadi sangat akrab di telinga. 

Transaksi berjalan menggambarkan aliran valas dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari sektor ini dipandang penting karena lebih memiliki horizon jangka panjang, tidak seperti portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Di Indonesia, transaksi berjalan tidak pernah surplus sejak kuartal IV-2011. Bahkan defisitnya pernah mencapai titik nadir di 4,26% dari PDB pada kuartal II-2014. 

Penyakit lama itu kambuh lagi pada 2018. Pada kuartal I, defisit transaksi berjalan masih di 2,17% PDB. Namun menjadi semakin dalam pada kuartal II yaitu 3,02% dan tambah parah di kuartal berikutnya yang mencapai 3,37%. 



Penyebabnya adalah pekerjaan rumah yang belum kunjung kelar, yaitu industrialisasi. Tanpa industri dalam negeri yang mumpuni, defisit transaksi berjalan dijamin tambah lebar saat ekonomi membaik. Pasalnya, perbaikan ekonomi tanpa industrialisasi akan menyebabkan pembengkakan impor karena dunia usaha dalam negeri belum mampu menyediakan kebutuhan yang meningkat.  

Kenaikan impor menyebabkan defisit di neraca perdagangan yang kemudian menjalar ke transaksi berjalan. Akhirnya rupiah menjadi oleng karena minim pasokan devisa yang berjangka panjang. 

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun dipaksa untuk berfokus menjaga nilai tukar rupiah agar tidak melemah terlampau dalam. Pemerintahan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo mengeluarkan berbagai jurus seperti penundaan impor bahan baku dan barang modal untuk proyek-proyek non-strategis, menaikkan PPh impor untuk lebih dari 1.000 produk, sampai kebijakan pewajiban pencampuran bahan bakar nabati ke minyak solar/diesel sebesar 20% (B20). 

Sedangkan BI harus mengeluarkan ajian pamungkas yaitu menaikkan suku bunga acuan, yang dilakukan sampai enam kali sepanjang 2018. Agus DW Martowardojo menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sekali, kemudian penerusnya yaitu Perry Warijyo menaikkan lima kali. 



Bukannya sia-sia, tetapi sepertinya skema all out attack dari pemerintah dan BI kurang cespleng menolong rupiah. 'Tsunami' strong dollar begitu dahsyat, sehingga rupiah tetap terseret gelombang depresiasi. 

Well, 2018 sepertinya tidak akan menjadi mantan terindah buat rupiah. Sebab luka yang ditinggalkannya lumayan dalam...

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/prm)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular