Bad News 2018

2018 Bukan Mantan Terindah Buat Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 December 2018 06:46
2018 Bukan Mantan Terindah Buat Rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS / Beawiharta)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam hitungan jam, 2018 akan segera berlalu. Bagi rupiah, 2018 sepertinya menjadi tahun yang ingin segera dilupakan. 

Bagaimana tidak, rupiah melemah signifikan 7,29% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang 2018 secara point-to-point. Memang rupiah cenderung menguat akhir Oktober, tetapi tidak bisa menghapus luka yang terjadi sejak akhir Januari. 



Bahkan di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua. Rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee India. 



Rupiah memang tidak sendirian, karena mayoritas mata uang Asia juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS. Tahun ini menjadi penanda kedigdayaan greenback sebagai raja mata uang dunia. 

Tidak hanya di Asia, dolar AS memang mengat secara global. Sejak awal 2018, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 4,73%. 



Resep utama keperkasaan dolar AS adalah kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang agresif. Sepanjang tahun ini, Jerome 'Jay' Powell dan kolega telah menaikkan Federal Funds Rate hingga 4 kali. Ini menjadi kenaikan terbanyak dalam setahun sejak era kebijakan moneter longgar resmi berakhir pada penghujung 2015. 

 

Ketika suku bunga acuan naik, maka imbalan berinvestasi di AS pun akan ikut terdongkrak, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Memegang dolar AS juga sudah menguntungkan, karena kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang tidak tergerus. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Ditambah lagi AS tahun ini menjadi negara maju rasa negara berkembang. Pada kuartal I-2018, ekonomi AS tumbuh 2,58% year-on-year (YoY), kemudian terakselerasi menjadi 2,87% YoY pada kuartal II, dan meningkat lagi ke 3% pada kuartal III.  

Bagi negara sebesar AS, mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 3% bukan main-main. Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Adidaya itu pada 2017 tercatat US$19,39 triliun atau sekitar Rp 282.318,4 triliun. Tumbuh 3% berarti ada kenaikan US$387,8 miliar atau Rp 5.646,37 triliun. 

Sebagai gambaran, PDB Indonesia pada 2017 adalah US$1,02 triliun atau Rp 14.792,96 triliun. Artinya, pertumbuhan PDB di AS senilai dengan 38,17% dari total PDB Indonesia. Wow... 

Penyebabnya adalah kebijakan pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang dirilis Presiden AS Donald Trump pada akhir 2017. Dampak kebijakan ini sangat terasa pada 2018, baik masyarakat maupun dunia usaha sangat optimistis dan ekspansif sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi ke laju tercepat sejak pertengahan 2015. 

 

Sementara AS melesat, negara-negara maju lainnya masih tertinggal di belakang. Ekonomi Zona Euro malah terus melambat dari 2,4% pada kuartal I-2018 ke 2,6% pada kuartal II dan menjadi 1,64% pada kuartal III. 

Jepang? Lebih parah lagi. Ekonomi Negeri Matahari Terbit pada kuartal I ada di 1,23%, kemudian melambat ke 0,09% pada kuartal III dan menjadi laju paling lemah sejak kuartal I-2015. 



Oleh karena itu, wajar jika dolar AS menjadi primadona. Sudah ditopang kenaikan suku bunga acuan, investor juga mengapresiasi kinerja ekonomi AS yang ciamik. Dolar AS pun seng ada lawan


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Selain faktor strong dollar, ada pula tekanan domestik yang menambah luka rupiah. Seperti beberapa tahun lalu, kata-kata defisit transaksi berjalan (current account deficit) menjadi sangat akrab di telinga. 

Transaksi berjalan menggambarkan aliran valas dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari sektor ini dipandang penting karena lebih memiliki horizon jangka panjang, tidak seperti portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Di Indonesia, transaksi berjalan tidak pernah surplus sejak kuartal IV-2011. Bahkan defisitnya pernah mencapai titik nadir di 4,26% dari PDB pada kuartal II-2014. 

Penyakit lama itu kambuh lagi pada 2018. Pada kuartal I, defisit transaksi berjalan masih di 2,17% PDB. Namun menjadi semakin dalam pada kuartal II yaitu 3,02% dan tambah parah di kuartal berikutnya yang mencapai 3,37%. 



Penyebabnya adalah pekerjaan rumah yang belum kunjung kelar, yaitu industrialisasi. Tanpa industri dalam negeri yang mumpuni, defisit transaksi berjalan dijamin tambah lebar saat ekonomi membaik. Pasalnya, perbaikan ekonomi tanpa industrialisasi akan menyebabkan pembengkakan impor karena dunia usaha dalam negeri belum mampu menyediakan kebutuhan yang meningkat.  

Kenaikan impor menyebabkan defisit di neraca perdagangan yang kemudian menjalar ke transaksi berjalan. Akhirnya rupiah menjadi oleng karena minim pasokan devisa yang berjangka panjang. 

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun dipaksa untuk berfokus menjaga nilai tukar rupiah agar tidak melemah terlampau dalam. Pemerintahan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo mengeluarkan berbagai jurus seperti penundaan impor bahan baku dan barang modal untuk proyek-proyek non-strategis, menaikkan PPh impor untuk lebih dari 1.000 produk, sampai kebijakan pewajiban pencampuran bahan bakar nabati ke minyak solar/diesel sebesar 20% (B20). 

Sedangkan BI harus mengeluarkan ajian pamungkas yaitu menaikkan suku bunga acuan, yang dilakukan sampai enam kali sepanjang 2018. Agus DW Martowardojo menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sekali, kemudian penerusnya yaitu Perry Warijyo menaikkan lima kali. 



Bukannya sia-sia, tetapi sepertinya skema all out attack dari pemerintah dan BI kurang cespleng menolong rupiah. 'Tsunami' strong dollar begitu dahsyat, sehingga rupiah tetap terseret gelombang depresiasi. 

Well, 2018 sepertinya tidak akan menjadi mantan terindah buat rupiah. Sebab luka yang ditinggalkannya lumayan dalam...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/prm) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular