Akhiri Tahun 2018, IHSG Gagal Sentuh Level 6.200

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 December 2018 17:00
Akhiri Tahun 2018, IHSG Gagal Sentuh Level 6.200
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,16% ke level 6.200,3 dan sempat naik hingga 0,35% ke level 6.212,13, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru gagal menyentuh level psikologis 6.200 untuk menutup tahun 2018. IHSG hanya naik tipis 0,06% ke level 6.194,5.

Nilai transaksi tercatat Rp 10,7 triliun dengan volume 24,4 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 416.208 kali.

Performa IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona hijau: indeks Shanghai naik 0,44%, indeks Hang Seng naik 0,1%, indeks Strait Times naik 0,24%, dan indeks Kospi naik 0,62%.

Sebanyak 7 dari 9 sektor penghuni IHSG diperdagangkan menguat, dengan kenaikan terbesar dialami oleh sektor agrikultur (+2,36%).

5 saham yang berkontribusi paling signifikan dalam mendorong IHSG naik adalah: PT Bayan Resources Tbk/BYAN (+4,61%), PT Indofarma Tbk/INAF (+15,04%), PT Metropolitan Kentjana Tbk/MKPI (+12,5%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,37%), dan PT SMR Utama Tbk/SMRU (+18,18%).
Sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang seiring dengan adanya perkembangan positif terkait perang dagang AS-China. Tim perdagangan asal Negeri Paman Sam akan kembali bertolak ke Beijing untuk melakukan negosiasi dagang dengan China.

Mengutip Reuters, pertemuan AS-China kemungkinan terjadi pada Januari. Pertemuan ini sedang direncanakan kedua pihak melalui komunikasi yang intensif.

"AS memang sedang dalam periode liburan. Namun tim perdagangan AS dan China tetap menggelar komunikasi dan pertemuan masih terjadwal sesuai rencana. Kedua pihak berencana melakukan pertemuan pada Januari menindaklanjuti komunikasi yang intensif melalui telepon," kata Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China.

Sejauh ini, perang dagang yang berkecamuk antar kedua negara terlihat telah menyakiti perekonomian masing-masing. Kemarin (27/12/2018), laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di China dumumkan turun 1,8% YoY pada bulan November menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.

Jika perang dagang bisa diselesaikan secara permanen, maka laju perekonomian kedua negara bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.

Namun sejatinya, damai dagang secara permanen kemungkinan akan sangat sulit untuk dicapai. Pasalnya, di sisi lain AS justru berusaha untuk memblokir akses dari 2 perusahaan pembuat perangkat telekomunikasi besar asal China, Huawei dan ZTE.

3 orang sumber mengatakan kepada Reuters bahwa Presiden AS Donald Trump berencana untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.

Kebijakan eksekutif yang sudah berada dalam proses perencanaan sejak lebih dari 8 bulan tersebut bisa diterbitkan secepatnya pada bulan Januari dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.

Hal tersebut pada akhirnya membuat pelaku pasar bermain agak defensif, sehingga penguatan bursa saham Asia menjadi tak besar. Pada sesi awal perdagangan, investor di pasar saham sempat dibuat cukup optimistis oleh penguatan rupiah. Pada pagi hari tadi, rupiah sempat menguat 0,14% di pasar spot ke level Rp 14.535/dolar AS.

Namun pada akhir perdagangan, rupiah justru ditutup flat di level Rp 14.555/dolar AS.

Rupiah tak kuasa menahan tekanan dari perkasanya harga minyak mentah dunia. Hingga sore hari, harga minyak WTI kontrak pengiriman Februari 2019 melejit 2,87% ke level US$ 45,89/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 1,99% ke level US$ 53,2/barel.

Melesatnya harga minyak mentah tentu menjadi kabar buruk bagi rupiah, lantaran bisa memperparah defisit perdagangan minyak dan gas (migas) yang pada akhirnya akan membuat defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) kian lebar.

Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan migas.

Seiring dengan penguatan rupiah yang terpangkas habis, investor pun menjadi cenderung pesimistis sehingga IHSG hanya mengakhiri hari dengan kenaikan yang tipis.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular