Bad News 2018

Berantakannya Angka Defisit Transaksi Berjalan RI di 2018

Iswari Anggit, CNBC Indonesia
24 December 2018 19:07
Bulan November 2018 lalu, menorehkan sejarah kelam bagi neraca perdagangan Indonesia.
Foto: Arie Pratama
Tahun 2018 akan segera berakhir dalam hitungan hari. Terkait hal itu, CNBC Indonesia merangkum sederet peristiwa penting sepanjang tahun anjing tanah ini. Peristiwa itu terbagi ke dalam dua kategori, yaitu good news from 2018 dan bad news from 2018. Selamat membaca!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan November 2018 lalu, menorehkan sejarah kelam bagi neraca perdagangan Indonesia. Bagaimana tidak, Badan Pusat Statistik (BPS) merilisĀ defisit neraca perdagangan Bulan November 2018 mencapai US$ 2,05 miliar. Bahkan, defisit neraca perdagangan ini yang paling parah dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Defisit tersebut disebabkan karena nilai ekspor yang loyo, sementara nilai impor justru melonjak. Nilai ekspor tercatat US$ 14,83 miliar atau turun 3,28% secara year on year (yoy). Sedangkan data otoritas statistik menunjukkan bahwa, nilai impor justru mencapai US$ 16,88 miliar atau naik 11,68% yoy.

"Menurut saya ini harus jadi perhatian. Ini benar-benar perlu menjadi perhatian," kata Kepala BPS Suhariyanto, Senin (17/12/2018).

Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK) turut memberikan komentar terkait defisit neraca perdagangan November 2018; "Ini ada masalah dalam dan luar negeri. Kami selau bicara tentang perdagangan," kata JK di kantornya, Selasa (18/12/2018).

Berantakannya Angka Defisit Transaksi Berjalan RI di 2018Foto: Infografis/Melihat Jebloknya neraca Dagang indonesia di 2018/Arie Pratama


Menurutnya, salah satu faktor penyebab ekspor Indonesia loyo yaitu, penurunan sejumlah harga komoditas andalan Indonesia seperti karet maupun CPO (Crude Palm Oil).

"Harga komoditas turun lagi. Seperti batubara turun, CPO turun, karet turun. Hampir semua mineral-mineral itu mengalami perubahan harga," sambungnya.

Permasalahan ekonomi Indonesia tak berhenti sampai di situ. Bank Indonesia (BI) mengingatkan, kalau defisit neraca perdagangan tentu berdampak pada defisit transaksi berjalan (deficit current account atau CAD).

Hal tersebut dikemukakan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) di kantor pusat BI, Jakarta, Kamis (20/12/2018).

"Jangan terlalu kaget [defisit transaksi berjalan] nanti di Kuartal IV itu di atas 3% [dari PDB]," kata Perry.

Meskipun demikian, Perry mengatakan kalau CAD yang menembus level 3% masih cukup sehat. Pasalnya, CAD yang disebabkan defisit neraca perdagangan, di mana impor yang lebih tinggi dari ekspor, merupakan impor produktif, atau impor yang benar-benar dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Namun, Perry menegaskan tahun depan bank sentral akan berupaya menurunkan CAD. Pada tahun depan, CAD diproyeksikan bisa di 2,5% dari PDB.

Data terakhir BI mengumumkan pada triwulan III-2018 tercatat sebesar US$ 8,85 miliar. Angka ini setara dengan 3,37% dari Produk Domstik Bruto (PDB). Namun, secara kumulatif defisit neraca transaksi berjalan hingga triwulan III 2018 tercatat 2,86% PDB sehingga masih berada dalam batas aman.

Apabila ditelusuri secara historis, CAD kuartal lalu merupakan yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014. Kala itu, CAD mencapai US$ 9,58 miliar, atau sekitar 4,26% dari PDB.

Lantas, apa penyebab melebarnya CAD di kuartal III-2018? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

Dari sisi perdagangan, CAD yang melebar banyak dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan peningkatan defisit neraca jasa. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), neraca perdagangan berbalik arah menjadi defisit sebesar US$ 398 juta pada kuartal III-2018, pasca selalu mencatatkan surplus sejak kuartal III-2014.

Kemudian, defisit pendapatan primer juga melebar tipis menjadi US$ 8,03 milliar di kuartal III-2018, dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 8,02.

Neraca Perdagangan Barang

Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang tidak lepas dari defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar.

Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia. Sebagai catatan, Tim Riset CNBC Indonesia menelusuri data yang tersedia di situs resmi BI, di mana data yang tersedia paling lama adalah tahun 2005.

Harga minyak mentah jenis Brent memang tercatat menanjak sebesar 4,13%, di sepanjang kuartal III-2018. Bahkan, di akhir September 2018, harganya menembus level psikologis US$ 80/barel. Sebagai negara net importir, akhirnya Indonesia harus menanggung dampak negatif kenaikan harga sang emas hitam, dalam bentuk CAD yang jebol.

Terlebih, nilai tukar rupiah juga terdepresiasi 4,01% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang kuartal III-2018. Pada awal September 2018, US$ 1 bahkan sempat dibanderol sebesar Rp 14.930. Hal ini lantas semakin menambah beban importase migas.

Di sisi lain, neraca perdangan non-migas masih mencatatkan peningkatan surplus ke angka US$ 3,43 miliar di kuartal III-2018, meski hanya naik tipis dari US$ 3,24 miliar pada kuartal sebelumnya.

Meski demikian, apabila dibandingkan dengan surplus kuartal III-2017 yang sebesar US$ 6,32 miliar, surplus di kuartal lalu turun cukup dalam.

Impor non-migas di sepanjang kuartal III-2018 tercatat naik sebesar 20,04% secara tahunan (year-on-year/YoY). Peningkatan itu jauh lebih kencang dibandingkan kenaikan ekspor non-migas yang hanya sebesar 9,32% YoY. Wajar jika akhirnya surplus perdagangan non-migas mengerucut.

Terbatasnya pertumbuhan ekspor non-migas utamanya disebabkan penurunan ekspor komoditas minyak nabati di kuartal III-2018, yakni sebesar -14,3% YoY. Hal ini nampaknya tidak lepas dari turunnya harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di kuartal lalu. Mengutip Refinitiv, harga CPO kontrak acuan di Bursa Malaysia memang anjlok 6,53% di periode Juli-September 2018.

Sementara itu, peningkatan impor non-migas disumbang oleh melambungnya impor barang konsumsi dan barang modal, masing-masing sebesar 36% YoY dan 26,9% YoY (secara nominal).

Neraca Perdagangan Jasa

Di sisi lain, defisit neraca perdagangan jasa juga melebar menjadi US$ 2,21 miliar di kuartal III-2018, dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 1,86 miliar. Menurut BI, perkembangan tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya defisit jasa transportasi.

Defisit jasa transportasi semakin parah seiring naiknya pembayaran jasa transportasi penumpang. Hal itu terjadi karena lebih tingginya jumlah kunjungan wisatawan nasional (wisnas) ke luar negeri, antara lain dalam rangka pelaksanaan ibadah haji, dan meningkatnya pembayaran jasa freight seiring dengan meningkatnya impor barang.

Neraca Pendapatan Primer

Defisit neraca pendapatan primer hanya melebar tipis di kuartal III-2018. Mengutip BI, peningkatan defisit yang terjadi pada pendapatan investasi langsung di kuartal lalu dapat dikompensasi oleh penurunan defisit pendapatan investasi portofolio dan pendapatan investasi lainnya.

Peningkatan defisit pendapatan investasi langsung terutama dipengaruhi oleh meningkatnya pembayaran pendapatan atas modal ekuitas, sejalan dengan membaiknya kinerja keuangan perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia pada triwulan III-2018.

Meski demikian, sebagian besar pendapatan tersebut ditanamkan kembali (reinvested earnings) pada perusahaan sehingga pada gilirannya menambah aliran masuk investasi langsung ke Indonesia.

Sementara itu, penurunan defisit pendapatan investasi portofolio didukung oleh berkurangnya pembayaran dividen. Pengurangan itu mampu mengompensasi peningkatan pembayaran bunga surat utang pemerintah.

Adapun penurunan defisit pendapatan investasi lainnya terutama karena berkurangnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.

BACA JUGA : Topik Good News dan Bad News 2018 Lainnya di Sini





(dru/dru) Next Article Kabar Tak Sedap, Neraca Dagang Defisit (Lagi) di Agustus

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular