
Amankan Rupiah Saat Resesi, Apa yang Harus Dilakukan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,32% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (21/7/2022) ke Rp 15.030/US$, dan sepanjang tahun ini pelemahanya sekitar 5%. Tekanan dari eksternal membuat rupiah kesulitan menguat terutama dari kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) dan isu resesi dunia.
The Fed sejauh ini sudah 3 kali menaikkan suku bunga dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%, dan pekan depan diperkirakan akan menaikkan 75 hingga 100 basis poin.
Bank sentral paling powerful di dunia ini juga menegaskan akan terus menaikkan suku bunga di sisa tahun ini hingga diproyeksikan menjadi 3,5% - 3,75%. Bahkan tahun depan bank sentral pimpinan Jerome Powell ini masih akan menaikkan suku bunga lagi.
Dengan agresivitas tersebut, selisih suku bunga dengan Bank Indonesia (BI) tentunya semakin menyempit, yang memberikan tekanan ke rupiah.
Di sisi lain, isu resesi dunia semakin santer, Inflasi yang tinggi membuat bank sentral di berbagai negara agresif menaikkan suku bunga, alhasil resesi pun semakin dekat.
Inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli masyarakat, sementara kenaikan suku bunga akan memperlambat ekspansi dunia usaha. The Fed sebelumnya juga sudah mengatakan tidak bisa menjamin perekonomian Amerika Serikat akan mengalami soft landing, atau inflasi menurun tanpa memicu kontraksi ekonomi.
Artinya, The Fed memprioritaskan menurunkan inflasi. Sebab, ketika inflasi sukses diturunkan, perekonomian bisa segera rebound meski terjadi resesi. Berbeda misalnya jika inflasi tinggi terjadi dalam waktu yang lama dan akhirnya "mendarah daging" di perekonomian, maka Amerika Serikat bisa menghadapi masalah besar dan lama.
Hal yang sama juga dilakukan bank sentral utama lainnya, seperti di Inggris, Australia dan lainnya. Alhasil, risiko resesi semakin nyata.
Ketika dunia mengalami resesi, maka dolar AS yang menyandang status safe haven tentunya menjadi primadona. Rupiah tentunya berisiko tertekan.
Kolaborasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga inflasi menjadi salah satu kunci yang bisa menjaga stabilitas rupiah.
Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%
Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017. Sementara inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy).
Dengan inflasi yang tidak terlalu tinggi, maka nilai mata uang tetap terjaga.
Selain itu, tingginya harga komoditas membuat neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 26 bulan beruntun, yang mendongkrak transaksi berjalan menjadi surplus juga.
Pada 2021 lalu, untuk pertama kalinya sejak 2011 transaksi berjalan Indonesia mencatat surplus, sebesar 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan 2018 yang tercatat defisit hingga 3% dari PDB.
Surplus transaksi berjalan masih berlanjut di tahun ini, setidaknya di kuartal I lalu, surplus tercatat sebesar 0,1% dari PDB. BI memperkirakan di kuartal II-2022, transaksi berjalan juga masih surplus.
Kala transaksi berjalan surplus, pasokan devisa lancar ke dalam negeri. Hal ini membuat nilai tukar rupiah masih cukup stabil di tahun ini. Jika pemerintah mampu terus menggenjot ekspor dan mampu menjaga transaksi berjalan tetap surplus, maka nilai tukar rupiah tentunya bisa terjaga. Namun, menggenjot ekspor saat kondisi dunia resesi tentunya tidak akan mudah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Belum Keluarkan "Senjata Pamungkas"
