Dolar AS Sengsara, Harga Batu Bara Naik Tipis

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
21 December 2018 13:36
Pada penutupan perdagangan hari Kamis (20/12/2018), harga batu bara Newcastle kontrak berjangka naik tipis 0,05% ke level US$ 101,65/Metrik Ton (MT).
Foto: REUTERS/Kristina Barker/File Photo
Jakarta, CNBC IndonesiaPada penutupan perdagangan hari Kamis (20/12/2018), harga batu bara Newcastle kontrak berjangka naik tipis 0,05% ke level US$ 101,65/Metrik Ton (MT). Harga si batu hitam naik tipis secara 2 hari berturut-turut.

Pada penutupan perdagangan hari Rabu (19/12/2018), harga batu bara juga naik tipis saja sebesar 0,05%.

Harga batu bara masih mendapatkan energi dari sengsaranya dolar Amerika Serikat (AS) serta masih kencangnya impor batu bara mingguan di Negeri Tirai Bambu.

Meski demikian, tekanan datang dari masih tingginya stok batu bara di sejumlah pembangkit listrik di China, serta munculnya sinyal perlambatan ekonomi dunia.



Yuan China tercatat mampu menguat 4 hari beruntun terhadap dolar Amerika Serikat (AS), hingga penutupan tanggal 19 Desember 2018. Greenback memang justru merana pasca pengumuman hasi rapat The Federal Reserve/The Fed.

Pada Desember ini, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Kenaikan suku bunga acuan lantas seharusnya menjadi energi positif bagi dolar AS, setidaknya dalam jangka pendek. 

Meski demikian, yang terjadi malah sebaliknya. Kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) anjlok hingga 0,78%. Investor ternyata lebih melihat ke depan (forward looking).

Dalam rapat kemarin, The Fed menurunkan target suku bunga acuan pada akhir 2019 dari awalnya di median 3,1% menjadi 2,8%. Artinya, suku bunga acuan kemungkinan naik setidaknya dua kali tahun depan, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. 

Oleh karena itu, sepertinya dolar AS tidak akan sesangar tahun ini. Sejak awal tahun ini, Dollar Index masih menguat di kisaran 5%, ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan yang mencapai 100 bps. 

Saat laju kenaikan suku bunga acuan berkurang setengahnya dari empat kali menjadi dua kali, maka dampaknya terhadap dolar AS kemungkinan akan signifikan. Kejayaan dolar AS akan sulit terulang tahun depan. Pelaku pasar pun akhirnya memilih melepas dolar AS.

Sentimen ini ampuh untuk membuat mata uang Asia, termasuk yuan China, mampu ramai-ramai menguat di hadapan dolar AS dalam beberapa hari terakhir.

Penguatan yuan China terhadap greenback lantas membuat biaya impor batu bara Negeri Panda menjadi relatif lebih murah. Hal ini menjadi sentimen bahwa permintaan batu bara China akan menguat.

Sentimen penguatan permintaan tersebut serasi dengan kenyataan di lapangan. Dalam sepekan hingga tanggal 14 Desember, impor batu bara China meningkat ke 27,6% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke 3,93 juta ton, mengutip data Global Ports. Capaian itu merupakan yang tertinggi dalam 6 pekan terakhir.

Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Dinamika permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.

Sejumlah Risiko Fundamental Masih Menghantui Harga Batu Bara

Di sisi lain, penguatan harga batu bara terbatas oleh munculnya sejumlah sentimen negatif dari sisi fundamental. Alhasil, kemarin harga si batu hitam hanya bisa menanjak tipis.

Konsumsi batu bara di China sebenarnya mulai membaik. Mengutip data China Coal Transport and Distribution Association, kini penggunaan batu bara harian oleh 6 pembangkit lisrik utama di China meningkat 19% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke 741.000 ton per hari Kamis (13/12/2018).

Situasi ini sepertinya tidak lepas dari musim dingin memang sudah mencapai puncaknya di Negeri Tirai Bambu. Saat cuaca dingin melanda, kebutuhan listrik untuk pemanas ruangan akan meningkat. Hal ini kemudian mampu mengatrol volume penggunaan batu bara di sejumlah pembangkit listrik utama di China.

Sayangnya, peningkatan konsumsi tersebut belum mampu secara signifikan menggerus stok batu bara di China yang sedang tinggi-tingginya. Pasalnya, puncak musim dingin di dataran China nampaknya cepat berlalu.

Sebagai informasi, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China sebenarnya turun 0,90% WtW  ke level 17,77 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 14 Desember 2018. Capaian itu memutus kenaikan mingguan selama 9 pekan berturut-turut sebelumnya.

Meski demikian, penurunan tersebut masih dianggap kurang banyak oleh pelaku pasar. Stok saat ini masih berada di level yang tinggi, atau masih dekat dengan rekor tertinggi sejak Januari 2015.

Terlebih, saat ini impor masih tumbuh dengan sehat, sehingga stok dikhawatirkan akan kembali terisi di awal tahun depan.

Sentimen negatif lainnya datang dari kemungkinan turunnya permintaan global. Perlambatan ekonomi dunia yang semakin nyata memunculkan persepsi bahwa permintaan energi akan ikut melambat.

The Fed memperkirakan ada perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam. Untuk tahun ini, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 3% dan tahun depan melambat ke 2,3%. 

AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global. 

Awal pekan ini, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga mengumumkan pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2018 sebesar 3,6% secara tahunan (year-on-year/YoY), melambat dari kuartal II-2018 sebesar 3,8% dan kuartal III-2017 sebesar 4%.

Adapun negara-negara importir utama batu bara kompak mengalami perlambatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi China melambat ke 6,5% di kuartal III-2018, dari kuartal sebelumnya sebesar 6,7%. Sementara, ekonomi India melambat ke 7,2% di kuartal lalu, dari kuartal sebelumnya sebesar 7,8%.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)



(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular