Transaksi Berjalan Bisa Tekor Lagi, Rupiah Masuk Zona Merah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 December 2018 08:40
Transaksi Berjalan Bisa Tekor Lagi, Rupiah Masuk Zona Merah
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi akhir pekan ini. Sepertinya ada sentimen domestik yang menjadi beban bagi mata uang Tanah Air. 

Pada Jumat (21/12/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.475 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.  

Pelemahan ini sudah bisa diduga sebelum pasar spot dibuka. Tanda-tanda depresiasi rupiah sudah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF). 


Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam meski masih relatif terbatas. Pada pukul 08:13 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.480 di mana rupiah melemah 0,1%. 

Sementara mata uang Asia bergerak variatif di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang lain yang melemah adalah rupee India, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dan peso Filipina. 

Dengan depresiasi 0,1%, rupiah berada di posisi kedua terbawah klasemen mata uang Asia. Rupiah hanya lebih baik dari won. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 08:15 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tampaknya ada faktor domestik yang mempengaruhi gerak rupiah sehingga belum bisa keluar dari zona merah. Kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan defisit transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 masih di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya bisa jadi lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai 3,37% PDB. 

"Ada kenaikan impor yang produktif. Jangan terlalu kaget nanti defisit transaksi berjalan kuartal IV itu di atas 3%. Akhir 2018, full year, sekitar 3% PDB," ungkap Perry. 


Transaksi berjalan yang defisit membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Ini karena pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa sangat terbatas, bahkan cenderung tekor. 

Sentimen negatif ini membuat investor 'menghukum' rupiah. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya berisiko melemah? 

Kemudian, kebutuhan valas korporasi yang meningkat jelang akhir tahun juga membebani rupiah. Perusahaan, terutama asing yang beroperasi di Indonesia, sedang berburu valas untuk keperluan setoran dividen ke kantor pusatnya di luar negeri. Rupiah dilepas untuk ditukarkan ke valas, sehingga mata uang Tanah Air melemah.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Selain faktor domestik tersebut, sisi eksternal juga cukup menantang. Setelah melemah cukup lama, dolar AS mulai menguat. Pada pukul 08:21 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) naik 0,15%.

Maklum, dolar AS memang sudah di-bully habis-habisan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index merosot sampai 1,05%. Ini membuat dolar AS sudah cukup murah, sehingga cukup menggoda investor untuk mengoleksinya. 

Namun dalam jangka menengah-panjang, sepertinya dolar AS mulai kehilangan karisma. Penyebabnya adalah kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang mungkin kurang hawkish tahun depan. 


Saat ini, suku bunga acuan AS ada di median 2,375%. Pada akhir 2019, The Fed menargetkan suku bunga acuan berada di median 2,8%. Turun dari target sebelumnya yaitu 3,1%. Artinya kenaikan Federal Funds Rate pada 2019 mungkin hanya dua kali. Turun setengahnya dibandingkan tahun ini yang mencapai empat kali, yang membuat dolar AS perkasa dan jadi raja mata uang dunia. 

Oleh karena itu, rupiah masih punya kesempatan untuk balik melawan dolar AS. Kesempatan itu mungkin tidak datang hari ini, tetapi bisa terjadi tahun depan yang tinggal menghitung hari.


Kemudian, perkembangan harga minyak juga kurang mendukung rupiah. Pada pukul 08:36 WIB, harga minyak jenis brent melompat 1,47% dan light sweet melesat 1,57%. Dini hari tadi, harga komoditas ini sempat anjlok cukup dalam sehingga memang membuka peluang rebound.

Kenaikan harga minyak bukan kabar gembira bagi rupiah. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kenaikan harga minyak akan menambah beban impor dan kemudian memperparah defisit transaksi berjalan sehingga rupiah semakin tertekan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular