Berkat Minyak dan BI, Derita Rupiah Berkurang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 December 2018 12:38
Berkat Minyak dan BI, Derita Rupiah Berkurang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Arie Pratama)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hingga tengah hari ini. Namun depresiasi rupiah berangsur-angsur menipis. 

Pada Kamis (20/12/2018) pukul 12:13 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.480. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Meski masih melemah, nasib rupiah sebenarnya membaik. Sebelumnya, rupiah sempat terdepresiasi di kisaran 0,5%. Dolar AS kini kembali ke bawah Rp 14.500.


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 



Di level Asia, posisi rupiah pun membaik. Rupiah yang awalnya berada di posisi kedua terbawah, kini naik satu tingkat menjadi mata uang terlemah ketiga. Rupiah lebih baik ketimbang rupee India dan peso Filipina. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:18 WIB:
 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Setidaknya ada dua hal yang membuat rupiah mampu menipiskan pelemahan. Pertama adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 12:21 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 1,82% sementara light sweet turun 0,19%. 


Bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah berita bahagia. Sebab, Indonesia adalah negara net importir migas sehingga penurunan harga minyak akan membantu menekan defisit neraca migas.  

Selama ini, neraca migas menjadi biang keladi defisit transaksi berjalan (current account) yang membuat rupiah kekurangan 'darah' untuk menguat. Jika neraca migas membaik, maka defisit transaksi berjalan juga bisa dikurangi sehingga rupiah punya ruang terapresiasi. 

Faktor kedua adalah intervensi Bank Indonesia (BI). Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengemukakan, bank sentral telah melakukan upaya untuk memastikan tekanan terhadap rupiah tidak terlalu tajam.

"Bank Indonesia telah melakukan intervensi di DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward) dikombinasikan dengan intervensi spot dalam jumlah yang terukur," kata Nanang. 

Namun dua hal tersebut belum mampu menahan arus penguatan dolar yang menyapu Asia. Pelaku pasar kini bereaksi terhadap hasil rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed.

Dini hari tadi waktu Indonesia, Jerome 'Jay' Powell dan kolega menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke 2,25-2,5% atau median 2,375%.  Sementara pada akhir 2019, The Fed menargetkan suku bunga acuan berada di median 2,8%. Artinya, masih akan ada kenaikan Federal Funds Rate setidaknya dua kali lagi tahun depan. 


Sebenarnya hasil rapat ini agak dovish, karena sebelumnya The Fed memasang target suku bunga acuan 3,1% pada akhir 2019. Namun bagaimana pun juga yang namanya kenaikan suku bunga acuan akan menjadi energi positif bagi dolar AS, setidaknya dalam jangka pendek. 

Selain itu, The Fed juga memperkirakan ada perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam. Untuk tahun ini, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 3% dan tahun depan melambat ke 2,3%. 

AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global. Potensi perlambatan ekonomi global membuat pelaku pasar ketar-ketir dan memilih bermain aman.

Arus modal pun memihak ke dolar AS yang berstatus sebagai safe haven. Hasilnya, mata uang Asia kompak melemah termasuk rupiah.  


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular