The Fed Sepertinya Masih Hawkish, Harga Minyak Terkikis

Muhamad Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
20 December 2018 12:05
Hingga pukul 11:28 WIB hari ini, harga minyak jenis Brent turun sebesar 1,59% ke US$ 56,33 dari penutupan perdagangan sesi kemarin (19/12/2018).
Foto: Ilustrasi produksi minyak (REUTERS/Nick Oxford)
Jakarta, CNBC IndonesiaKamis pagi (20/12/2018) harga minyak masih labil. Hingga pukul 11:28 WIB, harga minyak jenis Brent kembali turun ke US$ 56,33, atau anjlok sebesar 1,59% dari penutupan perdagangan sesi kemarin (19/12/2018).

Nasib serupa dialami harga minyak jenis lightsweet (WTI), yang baru saja berganti kontrak ke Februari 2019, dengan penurunan harga sebesar 2,20% ke angka US$ 47,11.

Sepertinya sentimen negatif masih terus mendominasi pada harga komoditas minyak dunia, meskipun pada perdagangan kemarin harga minyak jenis Brent dan WTI sempat naik masing-masing sebesar 1,74% dan 2,08%.



"Kenaikan harga pada hari rabu adalah short-covering. Investor dengan cepat mengalihkan perhatian mereka ke hal fundamental pada pasar minyak dunia, yaitu menguatnya sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun depan, jumlah produksi, dan rendahnya kepercayaan terhadap rencana OPEC yang akan memperketat produksinya," kata kepala analis minyak konsultan JLC, Xi Jiarui, seperti dilansir oleh Reuters.

Perlu diketahui bahwa Rabu kemarin, The Federal Reserve/The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Kemudian, The Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunganya 2 kali lagi di tahun depan.

Meski kenaikannya suku bunga di tahun depan masih lebih sedikit daripada perkiraan sebelumnya sebanyak 3 kali, namun ada pernyataan The Fed yang membuat pelaku pasar grogi.

Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell, mengumumkan akan melanjutkan normalisasi neraca The Fed dengan melepas surat-surat berharga, yang banyak dibeli The Fed sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu.

Artinya, stance The Fed nampaknya masih hawkish di tahun 2019. Investor menilai dampak  dari pelepasan surat berharga oleh The Fed sama dengan hilangnya dukungan bank sentral pada perekonomian, yang  akan membuat likuiditas pasar semakin tercekik.  

Padahal, The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.

Proyeksi perlambatan ekonomi juga dikemukakan oleh Ogranisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.

Namun demikian, ada sedikit sentimen positif yang menopang harga. Pasar kembali menilai bahwa kebutuhan energi di AS masih cukup tinggi. Sebab, US Energy Information Administration (EIA) mengatakan bahwa cadangan distilat AS (mencakup diesel dan minyak pemanas) turun sebesar 4,2 juta barel pada pekan lalu. Padahal, analis memprediksikan kenaikan cadangan sebesar 573 ribu barel. 

Sebagai informasi, di
stilat merupakan hasil olahan minyak mentah yang dipakai industri untuk kebutuhan energi. Mengutip Reuters, permintaan distilat bahkan sudah menyentuh titik tertinggi sejak Januari 2003.

Tidak hanya itu, EIA juga melaporkan penurunan cadangan minyak mentah AS sebesar 497.000 barel pada pekan lalu, sehingga dapat turut meredam sentimen negatif yang terus menekan harga minyak.

(TIM RISET CNBC INDONESIA) 

(RHG/RHG) Next Article Terusir dari RI, Pria Sukabumi Jadi Raja Hotel Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular