Rupiah Terlemah Kedua Asia, Akankah BI Naikkan Bunga Acuan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 December 2018 09:27
Rupiah Terlemah Kedua Asia, Akankah BI Naikkan Bunga Acuan?
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah kini menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. 

Pada Kamis (20/12/2018) pukul 09:05 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.500. Rupiah melemah 0,45% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Kala pembukaan pasar, rupiah 'hanya' melemah 0,17%. 


Pergerakan rupiah senada dengan mata uang utama Asia lainnya yang juga semakin lemah terhadap dolar AS. Namun laju pelemahan rupiah memang agak cepat. 

Rupiah sempat menjadi mata uang terlemah ketiga di Asia, hanya lebih baik dari rupee India dan peso Filipina. Namun sekarang rupiah turun posisi menjadi terlemah kedua, sudah lebih lemah dari peso. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:08 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sepertinya pelaku pasar menantikan pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) siang ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 6%.  


Jika BI menahan suku bunga acuan, maka tidak ada pemanis dari sisi suku bunga untuk berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah. Namun kalau BI 7 Day Reverse Repo Rate ternyata naik, bisa jadi rupiah punya energi lebih untuk berbicara banyak di hadapan dolar AS. 

Oleh karena itu, ada kemungkinan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan untuk membantu rupiah yang sedang tertekan. Apalagi dalam jangka pendek dolar AS mendapat suntikan energi dari kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) dini hari tadi. 


Akan tetapi jika BI menaikkan suku bunga acuan siang nanti, kenaikan bulan lalu menjadi terasa hambar. Benar bahwa kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate berperan besar dalam membawa rupiah menguat sekitar 5% sepanjang November. Namun efeknya ternyata tidak bertahan lama, hanya sekitar sebulan dan rupiah mungkin perlu suntikan kenaikan berikutnya.  

Apalagi neraca perdagangan November membukukan defisit yang sangat dalam yaitu US$ 2,05 miliar, terdalam sejak Juli 2013. Ini membuat transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 terancam kembali tekor lumayan parah. Pada kuartal lalu, transaksi berjalan mencatat defisit 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, pernah menyatakan bahwa kebijakan moneter saat ini bukan lagi didorong untuk pengendalian inflasi (inflationary driven monetary policy), melainkan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. Kenaikan suku bunga acuan ditempuh untuk memperlambat laju ekonomi, sehingga impor berkurang dan defisit transaksi berjalan bisa ditekan. 


Melihat potensi defisit transaksi berjalan yang membengkak pada kuartal IV-2018 plus rupiah yang tertekan, maka ada peluang BI kembali menaikkan suku bunga acuan. Namun kebijakan ini harus dibayar dengan harga yang lumayan mahal. Ya itu tadi, ekonomi akan melambat...  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular