Seperti Ini Nestapa Ekonomi RI Versi Prabowo-Sandiaga

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
20 December 2018 10:45
Seperti Ini Nestapa Ekonomi RI Versi Prabowo-Sandiaga
Foto: Calon Presiden RI, Prabowo Subianto (REUTERS/Stringer)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kritik keras kembali dilontarkan Tim Ahli Ekonomi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandiaga kepada kinerja pemerintahan terkait perkembangan ekonomi terkini.

Kondisi perekonomian saat ini, diibaratkan seperti nestapa karena pemerintah dianggap tidak pernah memiliki suatu bauran kebijakan yang benar-benar bisa menyelesaikan masalah.

Defisit neraca perdagangan misalnya. Kewajiban penggunaan B20 untuk menekan impor migas yang selama ini menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan, dianggap belum optimal.

Seperti Ini Nestapa Ekonomi RI Versi Prabowo-SandiagaFoto: Mantan Menteri Keuangan era Soeharto Fuad Bawazier dalam sebuah diskusi di Jakarta (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)


Dari sisi fiskal, realisasi pendapatan negara yang diperkirakan tembus target 100% pun disebut bukan murni karena kinerja pemerintah, melainkan terbantu karena harga komoditas.

Penguatan rupiah yang terjadi dalam satu bulan terakhir, juga diklaim hanya bersifat sementara. Pasalnya, secara fundamental ekonomi Indonesia juga belum sepenuhnya membaik.

Berikut berbagai kritik yang disampaikan Tim Ahli Ekonomi (BPN) Prabowo - Sandiaga, Fuad Bawazier, yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era Soeharto.

NEXT >> Obat Neraca Dagang yang Tak Ampuh





Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dianggap belum cukup mampu untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Salah satunya, adalah kewajiban penggunaan B20 untuk menekan impor migas yang selama ini menjadi salah satu biang kerok defisit neraca perdagangan. Kebijakan tersebut, dianggap tak efektif.

"Terus terang, neraca perdagangan impor migas tidak terpengaruh dengan B20," ungkap mantan Menteri Keuangan era Soeharto Fuad Bawazier, Rabu (19/12/2018).

Menurutnya, bukan hal mudah untuk menurunkan angka impor migas, apalagi di tengah kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia yang makin tinggi, sementara produksi minyak yang dihasilkan tak bisa mengimbangi.

"Dulu produksi kita 1,5 juta barel sementara konsumsi 700 ribu. Sekarang kebalik. Ini tentu ada yang salah," jelasnya.

Mantan Menteri Koordinator Bidanh Perekonomian Kwik Kian Gie pun memiliki pandangn serupa. Menurut dia, sudah seharusnya pemerintah mulai mengetahui akar masalah dari neraca perdagangan yang terus mengalami defisit.

"Jelas ini menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Karena ini berpengaruh terhadap kurs," jelasnya. Realisasi pendapatan negara sepanjang tahun ini diproyeksikan bakal melebihi target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu menyebut, realisasi pendapatan negara pada tahun ini bakal tembus Rp Rp 1.936 triliun atau lebih tinggi dari target APBN Rp 1.894 triliun.

Apabila memang benar-benar terjadi, maka ini menjadi kali pertama di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo realisasi pendapatan negara mencapai target 100%.

Meski demikian, mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier memiliki pendapat lain. Menurutnya, capaian tersebut sama sekali tak mencerminkan kinerja pemerintah secara keseluruhan.

"Kalau dari effort yang dilakukan, sejak Sri Mulyani duduk [sebagai Menteri Keuangan] tidak pernah mencapai target," ungkap Fuad dalam sebuah diskusi, Rabu (19/12/2018).

Menurut Fuad, tercapainya realisasi pendapatan negara pada tahun ini lebih dikarenakan kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang notabene merupakan jenis pendapatan yang langsung diterima oleh pemerintah.

"PNBP melampaui target, karena dari kenaikan harga komoditas. Jadi pemerintah tidak kerja apa-apa," kata dia.

Sementara dari sisi penerimaan pajak, kinerjanya masih belum cukup optimal. Pasalnya, realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) non migas jelang tutup tahun anggaran pun masih jauh dari target yang ditetapkan.

"PPh migas itu tergantung dari harga minyak. Karena itu realisasinya sudah Rp 59,5 triliun atau 158% dari target. Kalau PPh non migas, itu tidak berkaitan," katanya.

"Target Rp 808,8 triliun, realisasinya Rp 599 triliun. Artinya baru 74%. [....] Kesimpulan saya, ini ditolong dari komoditas," jelasnya. Defisit neraca perdagangan pada November 2018 kembali jatuh. Hal ini membuat nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 berada di ujung tanduk.

Bahkan, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 diproyeksikan sejumlah analis berada di atas 3,5% dari produk domestik bruto (PDB).

Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, mata uang Garuda jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa.

Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto Fuad Bawazier pun buka suara mengenai hal tersebut. Menurutnya, bukan tidak mungkin rupiah kembali jatuh ke atas level Rp 15.000/US$, bahkan sampai US$ 16.000/US$.

"Rupiah hanya tinggal menunggu waktu jebloknya saja. Bisa saja ke Rp 16.000/US$," kata Fuad dalam sebuah diskusi, Rabu (19/12/2018).

Fuad memandang, masalah yang membuat rupiah akan tertekan ke depannya karena masalah defisit neraca perdagangan yang belum bisa terselesaikan. Impor tak terbendung, ekspor pun tak optimal.

"Itu tidak bisa dibantah. Ekspor melemah, sementara impor masih sulit dibendung," tegasnya.

Menurut dia, keperkasaan rupiah saat ini disebabkan karena tingkat bunga yang tinggi, sehingga membuat investor berani mengambil risiko untuk menempatkan dananya di pasar keuangan Indonesia.

"Namun ini hanya sementara. Paling juga nanti jeblok. Tunggu saja," kata mantan Direktur Jenderal Pajak itu.
(dru) Next Article Jokowi Gandeng Ma'ruf Amin, IHSG Naik Tapi Rupiah Loyo

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular