
Ini Resep IHSG Hingga Jadi yang Terbaik Kedua di Asia
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 December 2018 16:46

Penguatan rupiah merupakan faktor utama yang membuat IHSG mampu membukukan kinerja yang begitu impresif. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,41% di pasar spot ke level Rp 14.435/dolar AS.
Rupiah mampu memanfaatkan momentum yang ada dengan baik. Momentum pertama bagi rupiah datang dari anjloknya harga minyak mentah dunia.
Pada perdagangan kemarin (18/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 anjlok 7,3% ke level US$ 46,24/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 5,62% ke level US$ 56,26/barel.
Kekhawatiran mengenai kelebihan pasokan (oversupply) menjadi hantu bagi si emas hitam. Mengutip Reuters, produksi minyak di Rusia sudah menembus rekor baru di 11,42 juta barel/hari. Sementara total produksi minyak AS tahun ini diperkirakan mencapai 11,7 juta barel/hari, nomor 1 di dunia mengalahkan Rusia dan Arab Saudi.
Kekhawatiran mengenai kelebihan pasokan terjadi kala perekonomian global diprediksi melambat. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7% dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Wajar jika harga minyak mentah anjlok.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Momentum kedua bagi rupiah datang dari posisi dolar AS yang memang sedang goyah. Hingga sore hari, indeks dolar AS terkoreksi sebesar 0,29%. Dolar AS loyo seiring dengan ekspektasi bahwa The Federal Reserve akan merubah arah kebijakan moneternya pada tahun depan.
Saat ini, The Fed memproyeksikan akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun 2019. Namun, kondisinya diharapkan berubah kala The Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari nanti.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 19 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini) hanyalah sebesar 1,1%, anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 8,6%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 46,7%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 23,9%.
Sementara itu, probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali dan 2 kali masing-masing adalah 28,3% dan 7,6%.
Memudarnya persepsi investor datang seiring rilis data ekonomi di AS yang mengecewakan. Pada hari Senin (17/12/2018), data New York Fed’s Empire State manufacturing index periode Desember anjlok hingga 12,4 poin menjadi 10,9, lebih rendah dibandingkan konsensus yang sebesar 20,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Capaian tersebut menjadi yang terendah dalam 19 bulan atau sejak Mei 2017.
Data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas bisnis dari pabrik-pabrik yang terletak di New York masih mencatatkan ekspansi, namun ekspansinya jauh lebih lemah dari yang diharapkan. (ank/hps)
Rupiah mampu memanfaatkan momentum yang ada dengan baik. Momentum pertama bagi rupiah datang dari anjloknya harga minyak mentah dunia.
Pada perdagangan kemarin (18/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 anjlok 7,3% ke level US$ 46,24/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 5,62% ke level US$ 56,26/barel.
Kekhawatiran mengenai kelebihan pasokan terjadi kala perekonomian global diprediksi melambat. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7% dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Wajar jika harga minyak mentah anjlok.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Momentum kedua bagi rupiah datang dari posisi dolar AS yang memang sedang goyah. Hingga sore hari, indeks dolar AS terkoreksi sebesar 0,29%. Dolar AS loyo seiring dengan ekspektasi bahwa The Federal Reserve akan merubah arah kebijakan moneternya pada tahun depan.
Saat ini, The Fed memproyeksikan akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun 2019. Namun, kondisinya diharapkan berubah kala The Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari nanti.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 19 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini) hanyalah sebesar 1,1%, anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 8,6%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 46,7%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 23,9%.
Sementara itu, probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali dan 2 kali masing-masing adalah 28,3% dan 7,6%.
Memudarnya persepsi investor datang seiring rilis data ekonomi di AS yang mengecewakan. Pada hari Senin (17/12/2018), data New York Fed’s Empire State manufacturing index periode Desember anjlok hingga 12,4 poin menjadi 10,9, lebih rendah dibandingkan konsensus yang sebesar 20,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Capaian tersebut menjadi yang terendah dalam 19 bulan atau sejak Mei 2017.
Data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas bisnis dari pabrik-pabrik yang terletak di New York masih mencatatkan ekspansi, namun ekspansinya jauh lebih lemah dari yang diharapkan. (ank/hps)
Next Page
Sektor Barang Konsumsi Pimpin Laju IHSG
Pages
Most Popular