Di Kurs Acuan dan Pasar Spot, Rupiah Menguat Hampir 1%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2018 10:57
Di Kurs Acuan dan Pasar Spot, Rupiah Menguat Hampir 1%
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat lumayan tajam di kurs acuan hari ini. Dengan begitu, penguatan rupiah di kurs acuan dan pasar spot sama-sama nyaris menyentuh 1%. 

Pada Rabu (19/12/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.380. Rupiah menguat 0,98% dibandingkan posisi hari sebelumnya, dan menyentuh titik terkuat sejak 4 Desember. 



Sementara di pasar spot, US$ 1 diperdagangkan Rp 14.365. Rupiah menguat 0,9% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar spot, rupiah sudah menguat 0,45%. Seiring perjalanan pasar, penguatan rupiah semakin menggila. 


Dengan apresiasi nyaris 1% tersebut, rupiah menjadi pemuncak klasemen mata uang Asia. Dalam hal menguat di hadapan dolar AS, rupiah menjadi juaranya. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:12 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mayoritas mata uang Asia mampu menguat, karena dolar AS memang tertekan secara global. Pada pukul 10:15 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,25%. 

Pelaku pasar mengantisipasi hasil rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed yang akan diumumkan dini hari nanti waktu Indonesia. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan adalah 69,8%, turun dibandingkan posisi seminggu yang lalu yaitu 75,8%. 

Investor mulai mengendus aroma dovish di tubuh The Fed. Memang kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate bulan ini masih cukup tinggi, tetapi untuk 2019 sepertinya Jerome 'Jay' Powell dan kolega mulai mengendurkan pedal gas, meski belum menginjak pedal rem. 


Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2019. Lebih sedikit dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. 

Sebab, AS sendiri menghadapi risiko yang tidak kecil. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek. 

Inverted yield merupakan pertanda awal terjadinya resesi, karena investor menilai risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. Bahkan pelaku pasar memperkirakan resesi bisa terjadi pada 2020. 

Tidak hanya AS, ekonomi global juga berpotensi melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. 

Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengencangkan kebijakan moneter menjadi kurang relevan. Di tengah risiko yang begitu besar, pengetatan kebijakan moneter bukan langkah yang bijak. 

Artinya, ke depan dolar AS akan menjadi kurang menarik karena kebijakan moneter yang tidak tidak lagi ketat. Investor pun mulai melepas mata uang ini, sehingga nilainya melemah. Situasi ini mampu dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia untuk mencetak penguatan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun tentu ada faktor lain yang membuat rupiah melesat menjadi yang terbaik di Asia. Sepertinya faktor tersebut adalah harga minyak.  

Dini hari tadi, harga minyak jenis brent sempat anjlok di kisaran 5% sementara light sweet jatuh sekitar 7%. Sejak awal Oktober, brent sudah amblas 33,41% dan light sweet ambrol 37,94%. 

 


Sepertinya harga minyak masih akan dalam tren turun. Sebab, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ekonomi dunia akan melambat sehingga permintaan energi akan ikut berkurang. 

Bagi Indonesia, penurunan harga minyak merupakan berkah tiada tara. Sebab, selama ini impor migas begitu membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account).  

Pada Januari-November 2018, neraca perdagangan migas Indonesia mencatat defisit US$ 12,15 miliar. Akibatnya, neraca perdagangan secara keseluruhan menjadi minus US$ 7,51 miliar karena surplus neraca perdagangan non-migas yang sebesar US$ 4,64 tidak mampu menambal. 

Ketika neraca perdagangan defisit, maka transaksi berjalan (yang mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa) tentu akan ikut defisit. Tekornya transaksi berjalan membuat rupiah sulit menguat, karena tidak punya modal devisa yang memadai. 

Namun jika harga minyak turun, maka neraca perdagangan (dan transaksi berjalan) juga kemungkinan bisa membaik. Sebab, biaya impor minyak bisa ditekan sehingga tidak banyak devisa yang terbuang.  

Ditopang prospek perbaikan neraca perdagangan dan transaksi berjalan, rupiah pun melaju kencang. Begitu kencang sehingga meninggalkan mata uang Asia lain dengan jarak yang cukup jauh.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular