Rupiah Perkasa, IHSG Malah Melemah Tipis 0,12%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 December 2018 16:46
Rupiah Perkasa, IHSG Malah Melemah Tipis 0,12%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan hari ini dengan pelemahan sebesar 0,12% ke level 6.081,87.

Nasib IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 1,82%, indeks Shanghai turun 0,82%, indeks Hang Seng turun 1,05%, indeks Strait Times turun 1,95%, dan indeks Kospi turun 0,43%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 10,73 triliun dengan volume sebanyak 14,55 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 373.312 kali.

Tanda-tanda perlambatan ekonomi global yang kian nyata membuat instrumen berisiko seperti saham menjadi tak menarik di mata investor.

Kemarin (17/12/2018), data New York Fed’s Empire State manufacturing index periode Desember anjlok hingga 12,4 poin menjadi 10,9, lebih rendah dibandingkan konsensus yang sebesar 20,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Capaian tersebut menjadi yang terendah dalam 19 bulan atau sejak Mei 2017.

Data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas bisnis dari pabrik-pabrik yang terletak di New York masih mencatatkan ekspansi, namun ekspansinya jauh lebih lemah dari yang diharapkan.

Beralih ke Benua Biru, pembacaan awal untuk data Manufacturing PMI zona Eropa versi Markit periode Desember diumumkan sebesar 51,4, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,9.

Belum lama ini, European Central Bank (ECB) merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.

Dari kawasan regional, belum lama ini produksi industri China diumumkan hanya tumbuh 5,4% YoY pada November, laju terlambat dalam hampir 3 tahun terakhir. Pertumbuhan bulan lalu juga lebih lambat daripada konsensus Reuters sebesar 5,9% YoY.

Penjualan ritel di China juga hanya naik 8,1% YoY pada November, lebih lambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,6% sekaligus masih di bawah ekspektasi pasar sebesar 8,8%. Secara historis, capaian itu juga menjadi yang terlambat sejak Mei 2003.

Perang dagang antara AS dengan China merupakan salah satu faktor yang memicu perlambatan ekonomi global. Berbicara mengenai perang dagang AS-China, konflik ini nampaknya belum akan selesai dalam waktu dekat. Berpidato dalam peringatan 40 tahun dari "reform and opening up”, Presiden China Xi Jinping mengatakan tidak ada pihak manapun yang bisa mendikte arah kebijakan China.

“Tidak ada pihak yang berada dalam posisi untuk mendikte warga negara China terkait apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan,” tegas Xi, seperti dikutip dari CNBC International.

Ia menegaskan bahwa China harus tetap berada dalam jalur reformasi yang sedang dijalaninya sekarang.

“Kami akan dengan tegas mereformasi apa yang seharusnya dan bisa direformasi, dan tidak mengubah (kebijakan) yang memang sudah seharusnya dan tidak bisa direformasi,” lanjut Xi.

Memang, Xi tak secara gamblang menyebut nama AS di dalam pidatonya. Namun tetap saja, siapa lagi yang disasar oleh Xi kalau bukan musuh bebuyutannya tersebut.

Sebagai informasi, 18 Desember merupakan peringatan dari keberhasilan pemimpin China terdahulu Deng Xiaoping dalam merestrukturisasi ekonomi China. Hal ini dilakukannya dengan mengizinkan pihak individu untuk mempunyai kepemilikan dalam berbagai industri dan membuka akses bagi perusahaan asing terhadap perekonomian China.

Dengan sikap Xi yang keras tersebut, peluang tercapainya damai dagang dengan AS secara permanen menjadi memudar. Sektor jasa keuangan (-0,4%) menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG. Pelemahan sektor jasa keuangan terjadi seiring dengan aksi jual pada saham-saham bank BUKU 4: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 2,21%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 1,94%, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,68%.

Perlambatan ekonomi global yang kian nyata terlihat membuat pelaku pasar khawatir bahwa perekonomian Indonesia akan mendapatkan tekanan yang signifikan. Jika ini yang terjadi, tentunya profitabilitas dari bank-bank di tanah air akan tertekan, seiring dengan tertekannya permintaan kredit.

Investor asing terpantau cukup gencar melepas saham-saham bank BUKU 4. BBCA dijual bersih senilai Rp 367,8 miliar, sementara BMRI dijual bersih senilai Rp 206,5 miliar.

Secara total, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 916,5 miliar di pasar saham Indonesia. Sejatinya, ada sentimen positif bagi pasar saham tanah air yakni penguatan nilai tukar rupiah. Hingga akhir perdagangan, rupiah menguat 0,51% di pasar spot ke level Rp 14.495/dolar AS.

Penguatan rupiah salah satunya dipicu oleh penurunan harga minyak mentah dunia. Hingga sore hari, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 turun 1,62% ke level US$ 49,07/barel. Sementara itu, minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 melemah 1,64% ke level US$ 58,63/barel.

Harga si emas hitam anjlok merespons data cadangan minyak AS di Cushing (Oklahoma) yang naik lebih dari 1 juta barel dalam periode 11-14 juta Desember, mengutip Genscape. Kemudian, US Energy Information Administration (EIA) juga melaporkan bahwa produksi dari tujuh lapangan utama minyak serpih (shale oil) di Negeri Paman Sam diekspektasikan menembus angka 8 juta barel/hari pada akhir tahun ini, seperti dilansir dari Reuters.

Anjloknya harga minyak mentah dunia lantas memberikan harapan bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) bisa diredam pada kuartal terakhir tahun ini.

Namun sayang, derasnya sentimen negatif yang ada membuat IHSG tetap harus mengakhiri hari di zona merah.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular