Derasnya Gempuran Eksternal Bawa IHSG ke Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 December 2018 12:22
Derasnya Gempuran Eksternal Bawa IHSG ke Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat tipis 0,01%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dengan membukukan pelemahan sebesar 0,06% ke level 6.173,94.

Nasib IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan regional yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 1,56%, indeks Shanghai turun 0,57%, indeks Hang Seng turun 1,37%, indeks Strait Times turun 1,22%, dan indeks Kospi turun 1,22%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 4,11 triliun dengan volume sebanyak 5,07 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 199.413 kali.

Sentimen dari sisi eksternal yang begitu deras membuat investor di pasar saham tanah air cenderung melakukan aksi jual. Pasca dihadapkan pada normalisasi kebijakan oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS, kini giliran European Central Bank (ECB) yang melakukan pengetatan.

Kemarin (13/12/2018), ECB secara resmi mengakhiri program stimulus berupa pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) yang selama ini dilakukan guna mendongkrak laju perekonomian Benua Biru.

Celakanya, pengetatan dilakukan kala di saat yang bersamaan ECB merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.

"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Gubernur ECB Mario Draghi dalam jumpa pers usai rapat, mengutip Reuters.

DIkhawatirkan, pengetatan yang dilakukan ECB akan menjadi blunder dengan memukul perekonomian Eropa lebih dalam dari yang diperkirakan. Apalagi, ketidakpastian mengenai proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) juga masih lekat menempel perekonomian Eropa.
Berbicara mengenai normalisasi yang dilakukan oleh The Fed, perkembangannya juga kurang baik. Pelaku pasar kian yakin bahwa The Fed akan mengeksekusi rencana kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 13 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan ini adalah 79,2%, naik dari posisi 1 hari sebelumnya yang sebesar 77,5%.

Semakin kuatnya persepsi terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini datang seiring dengan positifnya data tenaga kerja di AS. Kemarin, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000, lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000.

Masalahnya, ditengah perang dagang dengan China dan indikasi resesi yang ditunjukkan oleh pergerakan di pasar obligasi, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif mungkin bukan merupakan pilihan yang paling bijak. Perang dagang dengan AS terlihat benar-benar menyakiti perekonomian China. Kemarin siang, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) di China diumumkan terkontraksi sebesar 1,3% YoY hingga bulan November. Capaian ini jauh lebih buruk dari capaian hingga bulan Oktober yakni ekspansi sebesar 3,3% YoY.

Kemudian pada hari ini, data ekonomi yang dirilis masih secara jelas menunjukkan tekanan pada perekonomian. Pertumbuhan produksi industri China periode November diumumkan sebesar 5,4% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,9% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics.

Kemudian, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode yang sama diumumkan tumbuh hanya sebesar 8,1% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 8,8% YoY.

Secara siklusnya, perekonomian China memang sedang menghadapi risiko perlambatan. Namun, perang dagang dengan AS berpotensi membuat China mengalami hard landing.

Pada tahun 2017, perekonomian China membukukan pertumbuhan sebesar 6,9%. Pada tahun ini, pemerintah China memproyeksikan pertumbuhan akan melambat ke level 6,5%. Mencuatnya persepsi terkait kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini oleh The Fed sukses memukul mundur rupiah. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,41% di pasar spot ke level Rp 14.550/dolar AS.

Saham-saham bank BUKU 4 mau tak mau menjadi korban: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 1,3%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,27%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,19%.

Sektor jasa keuangan melemah sebesar 0,3% per akhir sesi 1, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.

Selain mendorong aksi jual atas saham-saham bank BUKU 4, pelemahan rupiah juga memicu aksi jual oleh investor asing. Hingga tengah hari, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 270,6 miliar di pasar saham Indonesia.

5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 167,3 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 24,7 miliar), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (Rp 22,6 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 19,4 miliar), dan PT Panca Budi Idaman Tbk/PBID (Rp 18 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular