
Akhir Pekan yang Tampaknya Suram Buat Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 December 2018 08:27

Sentimen pertama adalah dolar AS memang sedang menguat secara global. Pada pukul 08:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%.
Data ketenagakerjaan mendukung penguatan dolar AS. Klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000. Lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000.
Pasar tenaga kerja AS yang semakin membaik kian membuka pintu bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada rapat pekan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 bps dalam rapat 19 Desember adalah 79,2%. Lebih tinggi dari posisi sepekan lalu yaitu 70,6%.
Kenaikan suku bunga acuan menjadi obat mujarab bagi keperkasaan dolar AS. Kala suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi di Negeri Adidaya akan ikut terkerek sehingga membuat investor bernafsu memburu greenback.
Sentimen kedua adalah risiko resesi AS yang semakin terasa. Ini terus terlihat di pasar obligasi, di mana imbal hasil (yield) surat utang tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang.
Pada pukul 08:14 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7599% sementara tenor 3 tahun berada di 2,7508%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,746%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Sentimen ketiga adalah perlambatan ekonomi di Eropa. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019.
Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Presiden ECB Mario Draghi, mengutip Reuters.
Tingginya risiko di perekonomian global membuat investor mau tidak mau mencari selamat masing-masing. Caranya adalah menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang dan kembali ke pelukan aset aman (safe haven) seperti dolar AS atau yen Jepang.
Akhir pekan biasanya adalah saatnya untuk bersuka-cita. Namun bagi rupiah, sepertinya akhir pekan ini akan terasa berat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Data ketenagakerjaan mendukung penguatan dolar AS. Klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 8 Desember turun 27.000 menjadi 206.000. Lebih rendah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 225.000.
Pasar tenaga kerja AS yang semakin membaik kian membuka pintu bagi The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan pada rapat pekan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 bps dalam rapat 19 Desember adalah 79,2%. Lebih tinggi dari posisi sepekan lalu yaitu 70,6%.
Sentimen kedua adalah risiko resesi AS yang semakin terasa. Ini terus terlihat di pasar obligasi, di mana imbal hasil (yield) surat utang tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang.
Pada pukul 08:14 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,7599% sementara tenor 3 tahun berada di 2,7508%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,746%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Sentimen ketiga adalah perlambatan ekonomi di Eropa. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru untuk 2018 dan 2019.
Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9% sementara perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
"Risiko di Eropa masih relatif seimbang. Namun memang ada potensi ke bawah (downside risk) akibat faktor ketegangan geopolitik, proteksionisme, kerentanan di negara-negara berkembang, dan volatilitas di pasar keuangan," kata Presiden ECB Mario Draghi, mengutip Reuters.
Tingginya risiko di perekonomian global membuat investor mau tidak mau mencari selamat masing-masing. Caranya adalah menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang dan kembali ke pelukan aset aman (safe haven) seperti dolar AS atau yen Jepang.
Akhir pekan biasanya adalah saatnya untuk bersuka-cita. Namun bagi rupiah, sepertinya akhir pekan ini akan terasa berat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular