Bank Lain Masih Alergi, BNI Justru Genjot Kredit Manufaktur

Roy Franedya, CNBC Indonesia
11 December 2018 08:53
Hingga November 2018, kredit korporasi yang disalurkan BNI mencapai Rp 254 triliun di mana 27% di antaranya merupakan penyaluran kredit manufaktur.
Foto: REUTERS/Beawiharta/
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis moneter 1997-1998 memang terjadi 20 tahun lalu, namun sebagian besar perbankan masih saja trauma untuk membiayai sektor manufaktur. Maklum sektor ini pernah menjadi biang kerok yang membuat bank bermasalah.

Pada krisis 1997-1998 manufaktur menjadi salah satu sektor yang paling terpukul. Banyak pabrik yang tutup karena masalah mismatch pendanaan. Banyak perusahaan yang meminjam dalam dolar Amerika Serikat (AS) sementara pendapatan dalam rupiah. Pelemahan nilai tukar membuat industri manufaktur babak belur.


Namun tak semua bank alergi membiayai manufaktur. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) malah aktif menyalurkan kredit manufaktur dan menjadi salah satu sektor andalan dalam segmen kredit korporasi.

Hingga November 2018, kredit korporasi yang disalurkan BNI mencapai Rp 254 triliun di mana 27% di antaranya merupakan penyaluran kredit manufaktur. Hingga akhir tahun ini BNI optimistis kredit korporasi minimal tumbuh di kisaran 14%-15%.

Direktur Bisnis Korporasi Bank BNI Putratama Wahyu Setiawan mengatakan dari sisi risiko, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) pada segmen manufaktur memang lumayan. Tetapi kredit manufaktur juga memiliki permintaan yang tinggi.

"Secara risiko memang lumayan tetapi kalau kita hanya melihat itu dan tidak melihat ke depan tidak baik juga. Ke depan kita akan menikmati bonus demografi di mana usia produktif akan muncul pada tahun 2030-an dan yang bisa menampung mereka dan ciptakan lapangan kerja, ya sektor manufaktur," ujar Putratama ketika berbincang dengan CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (6/12/2018).

Bank Lain Masih Alergi, BNI Justru Genjot Kredit ManufakturFoto: CNBC Indonesia/Donald Banjarnahor

Putratama menjelaskan dalam menggejot sektor manufaktur, BNI menerapkan strategi pembiayaan pada korporasi yang memiliki integrasi dari hulu ke hilir. Perusahaan mendapatkan keamanan pasokan dan produk akhirnya berkaitan dengan consumer goods. Salah satu sektor manufaktur yang cukup besar dibiayai BNI adalah industri kelapa sawit.

"Kenapa kami masih masih masuk ke agro industri karena industri sawit itu pernah pada titik nadir, sekarang mereka sudah efisien sehingga dengan harga sawit US$420 per ton masih banyak pengusaha yang bertahan," ujarnya.

"Kami juga melihat sektor sawit masih memiliki pontensi karena refinary masih sedikit, apalagi pemerintah ingin menuju B100 (biodisel) butuh refinary yang lebih banyak."

Kendalikan risiko kredit

Putratama menjelaskan hingga saat ini pembiayaan korporasi merupakan tulang punggung penyaluran kredit BNI. Maklum, sejak didirikan BNI memang disiapkan untuk membiayai korporasi. Hingga November porsi kredit korporasi BNI sudah mencapai 52% dari total kredit BNI.

"BNI sudah punya appetite di sektor ini tinggal bagaimana menggali lagi potensi value chain-nya," ujar Putratama.

Putratama menjelaskan dalam mengendalikan risiko kredit korporasi, biasa sejak awal tahun manajemen sudah melakukan pemetaan dan memegang rencana bisnis debitur.


"Lalu kita siapkan fasilitas kredit yang ketika debitur butuhkan kita bisa langsung salurkan. Tetapi intinya kami sudah lakukan analisis kredit dari awal, tidak terburu-buru buat analisisnya," ujarnya.

Selain itu, untuk mengatasi domino efek pembiayaan korporasi dan value chain-nya, BNI akan mengarahkan supplier agar tidak menjual 100% output ke satu korporasi rekanannya tetapi menyebar penjualan ke korporasi lain agak tidak ada risiko konsentrasi kredit.

"Dalam kredit korporasi kami arahkan pembiayaan kepada konglomerasi. Saat ini NPL kredit korporasi tren terus membaik, NPL korporasi BNI sekitar 1,5%," tukas Putratama.


(prm) Next Article Laba Bersih Melesat, Asing Borong Saham BBNI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular