Rebutan Dana antara Bank vs Pemerintah Memanas, Kapan Usai?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 December 2018 15:33
Rebutan Dana antara Bank vs Pemerintah Memanas, Kapan Usai?
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perbankan tanah air. Bagaimana tidak, pada tahun ini likuiditas perbankan begitu ketat. Melansir laporan Indikator Likuiditas periode November 2018 yang dipublikasikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Loan-to-Deposit Ratio (LDR) perbankan per akhir September 2018 adalah sebesar 93,4%, jauh di atas posisi akhir 2017 yang sebesar 89,6%.

Tingginya LDR datang sebagai akibat dari kencangnya penyaluran kredit yang tak diimbangi oleh tambahan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup. Hingga September 2018, penyaluran kredit tumbuh sebesar 12,7% YoY, sementara pertumbuhan DPK tipis saja di level 6,6% YoY.

Bank-bank di tanah air sedang menghadapi persaingan yang ketat dengan pemerintah Indonesia dalam menghimpun dana masyarakat. Seiring dengan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi sepanjang tahun ini, masyarakat yang memiliki dana besar lebih memilih menempatkannya di pasar obligasi.

Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Pada akhir 2017, jumlahnya adalah sebanyak 162.825 rekening dengan nilai Rp 508,1 triliun. Pada Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 163.257 dan nilainya tumbuh 0,75% menjadi Rp 511,9 triliun, seperti dilansir dari laporan Distribusi Simpanan Bank Umum periode Oktober 2018 yang diterbitkan LPS.

Pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 1,22%.

Untuk rekening dengan dana di atas Rp 5 miliar, per akhir 2017 jumlah rekeningnya adalah sebanyak 93.170 dengan nilai sebesar Rp 2.510 triliun. Per akhir Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 93.310 dan nilainya bertambah menjadi Rp 2.702 triliun (+7,65%).

Pertumbuhan ini juga melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 13,55%.

Lantas, sampai kapan bank akan tarik-tarikan dana dengan pemerintah?
Perlu diketahui bahwa yield obligasi Indonesia melesat seiring dengan agresifnya The Federal Reserve selaku bank sentral AS dalam menaikkan suku bunga acuan, yang pada akhirnya diikuti oleh Bank Indonesia (BI). 

Pada tahun ini, The Fed sudah mengerek suku bunga acuan sebanyak 3 kali (75 bps). Posisi terakhir dari Federal Funds Rate (FFR) ada di level 2-2,25%. Sementara itu, sepanjang tahun ini BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 bps.

The Fed memproyeksikan masih ada 1 kali lagi kenaikan pada bulan ini, sehingga total kenaikan tahun ini adalah 4 kali (100 bps), menurut dot plot yang dirilis selepas pertemuan The Fed bulan September.

Tak cukup sampai disitu, pada tahun depan The Fed memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali (75 bps). Pelaku pasar sempat mempercayai hal ini, sehingga mendorong yield obligasi naik. Kini, situasinya benar-benar berubah. Investor tak lagi punya keyakinan terhadap hal tersebut.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 8 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,7% (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini), anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 22,7%.

Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,2%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 8,1%.

Sementara itu, probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,8%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,5%.

Ketika sekarang ada ekspektasi bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan, ada ekspektasi bahwa BI bisa agak santai. Tak ada urgensi untuk mengerek suku bunga acuan karena The Fed pun tak melakukannya.

Price-in ulang di pasar obligasi seharusnya terjadi. Yield yang sudah melesat naik sepanjang tahun bisa didorong turun. Inflasi merupakan variabel penting bagi investor dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi. Jika inflasi rendah, maka obligasi akan menjadi menarik lantaran menawarkan real interest rate yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika inflasi tinggi, maka real interest rate akan menjadi lebih rendah sehingga obligasi tidak menarik.

Pada tahun ini, inflasi di Indonesia begitu rendah. Bahkan, bisa mencapai di bawah 3%. BI meramalkan terjadi inflasi pada Desember 2018 sebesar 0,3% MoM. Hal ini terungkap berdasarkan survei yang dilakukan bank sentral pada pekan pertama bulan Desember.

"Survei pada pekan pertama Desember 0,3% (MoM). Kita akan lakukan survei terus sampai pekan keempat, kalau bisa bertahan, maka inflasi year to date 2,81% sama dengan year on year," papar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di Kompleks BI, Jumat (7/12/2018).

Besarnya real interest rate yang ditawarkan oleh obligasi terbitan pemerintah Indonesia berpotensi mendorong aksi beli dengan besaran yang besar, mendorong yield turun. Di pasar obligasi, pergerakan rupiah sangat menentukan pergerakan yield. Hal ini terjadi seiring dengan besanrya porsi kepemilikan investor asing atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia. Melasir data yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), per 3 Desember 2018 sebanyak 37,9% dari Surat Berharga Negara (SBN) yang dapat diperdagangkan dimiliki oleh investor asing.

Kala rupiah melemah, investor asing harus menghadapi risiko nilai tukar. Keuntungan yang mereka dapatkan dari transaksi di pasar obligasi bisa tergerus oleh depresiasi rupiah, atau bahkan menjadi negatif.

Untungnya, rupiah terus menunjukkan performa yang impresif dalam beberapa waktu terakhir. Sepanjang bulan November, rupiah menguat hingga 5,92% di pasar spot. Hasilnya, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 36,27 triliun.

Di bulan Desember, ada 2 faktor yang bisa mendukung rupiah untuk terus membukukan penguatan. 2 faktor tersebut sudah disebutkan di atas, yakni ekspektasi bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan dan inflasi yang rendah.

Dengan memperhatikan faktor-faktor positif yang berpotensi menekan yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia secara signifikan, diharapkan tarik-menarik dana antara perbankan melawan pemerintah bisa segera usai.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular