The Fed Tak Agresif Lagi, Investor Bisa Incar Saham Perbankan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 December 2018 15:25
Saham Perbankan Bisa Diincar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Emiten-emiten perbankan berpotensi diuntungkan dengan tak terlalu agresifnya BI dalam menaikkan suku bunga acuan. Sepanjang tahun ini, kenaikan suku bunga acuan terbukti menjadi petaka bagi bank-bank di tanah air.

Mengikuti kenaikan suku bunga acuan, bank berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito. Sebagai informasi, di Indonesia deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 18,39% dari komposisi DPK bank umum per September 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,34%, seperti dilansir dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2018 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum per akhir 2017 adalah masing-masing sebesar 5,74% dan 6,13%. Per September 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 6,28% (+54 bps) dan 6,29% (+16 bps).

Masalahnya, kenaikan suku bunga deposito tak bisa di pass through ke suku bunga kredit. Malahan, suku bunga kredit turun sepanjang tahun ini. Berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit dibagi menjadi 3 yakni kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.

Per akhir 2017, rata-rata suku bunga kredit bank umum untuk modal kerja denominasi rupiah adalah sebesar 10,71%, investasi 10,56%, dan konsumsi 12,66%. Per September 2018, posisinya turun menjadi masing-masing sebesar 10,63% (-8 bps), 10,54% (-2 bps), dan 11,9% (-76 bps).

Hasilnya bisa ditebak, Net Interest Margin (NIM) menjadi tergerus. NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Sepanjang 9 bulan pertama 2018, NIM dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat sebesar 5,76%, turun 10 bps dari posisi 9 bulan pertama tahun 2017 yang sebesar 5,86%. Sementara itu, NIM dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 20 bps menjadi 5,3%, dari yang sebelumnya 5,5%.

NIM dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tergerus 42 bps menjadi 7,49%, dari yang sebelumnya 7,91% pada 9 bulan pertama tahun 2017. NIM dari PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 10 bps menjadi 6,1%, dari yang sebelumnya 6,2%.

Ketika suku bunga acuan tak dikerek secara agresif oleh BI, bank menjadi tak harus menaikkan suku bunga deposito secara signifikan yang pada akhirnya menekan NIM mereka.

Memang, saat ini bank menghadapi masalah ketatnya likuiditas lantaran dana nasabah banyak mengalir ke pasar obligasi. Melansir laporan Indikator Likuiditas periode November 2018 yang dipublikasikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Loan-to-Deposit Ratio (LDR) perbankan per akhir September 2018 adalah sebesar 93,4%, jauh di atas posisi akhir 2017 yang sebesar 89,6%.

Tingginya LDR datang sebagai akibat dari kencangnya penyaluran kredit yang tak diimbangi oleh tambahan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup. Hingga September 2018, penyaluran kredit tumbuh sebesar 12,7% YoY, sementara pertumbuhan DPK tipis saja di level 6,6% YoY.

Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Pada akhir 2017, jumlahnya adalah sebanyak 162.825 rekening dengan nilai Rp 508,1 triliun. Pada Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 163.257 dan nilainya tumbuh 0,75% menjadi Rp 511,9 triliun, seperti dilansir dari laporan Distribusi Simpanan Bank Umum periode Oktober 2018 yang diterbitkan LPS.

Pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 1,22%.

Untuk rekening dengan dana di atas Rp 5 miliar, per akhir 2017 jumlah rekeningnya adalah sebanyak 93.170 dengan nilai sebesar Rp 2.510 triliun. Per akhir Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 93.310 dan nilainya bertambah menjadi Rp 2.702 triliun (+7,65%).

Pertumbuhan ini juga melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 13,55%.

Namun, perlu diingat bahwa kenaikan yield obligasi Indonesia sepanjang tahun ini merupakan hasil dari ekspektasi atas kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Fed (yang pada akhirnya akan diikuti oleh BI).

Ketika sekarang pelaku pasar dibuat percaya bahwa The Fed tak akan agresif lagi, yield obligasi Indonesia seharusnya ikut bergerak turun.

Dari dalam negeri, situasi mendukung untuk yield obligasi bergerak turun. BI meramalkan terjadi inflasi pada Desember 2018 sebesar 0,3% MoM. Hal ini terungkap berdasarkan survei yang dilakukan bank sentral pada pekan pertama bulan Desember.

"Survei pada pekan pertama Desember 0,3% (MoM). Kita akan lakukan survei terus sampai pekan keempat, kalau bisa bertahan, maka inflasi year to date 2,81% sama dengan year on year," papar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di Kompleks BI, Jumat (7/12/2018).

Jika yield obligasi turun mendekati tingkat suku bunga deposito, besar peluang pertumbuhan DPK akan terakselerasi. Pada perdagangan hari ini, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di level 8,045%.

Sudah NIM tak tertekan, penyaluran kredit bisa digenjot lantaran pertumbuhan DPK yang pesat.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular