
The Fed Tak Agresif Lagi, Investor Bisa Incar Saham Perbankan
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 December 2018 15:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan benua kuning sedang bersuka cita: indeks saham kawasan Asia menguat, sementara dolar AS dipukul mundur.
Pelaku pasar larut dalam euforia yang datang dari Negeri Paman Sam. Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.
Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Lantas, hal ini semacam memberikan konfirmasi bahwa stance dari The Fed sudah mengarah ke hawkish. Sebelumnya, pernyataan yang mengindikasikan hal tersebut sempat dilontarkan oleh sang gubernur, Jerome Powell, serta wakilnya, Richard Clarida.
Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.
Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.
Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.
Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.
Belum diketatkan lebih lanjut saja, tekanan sudah menghampiri perekonomian AS. Untuk apa lagi melakukan normalisasi yang terlalu agresif? The Fed nampaknya mulai menyadari hal ini. Pelaku pasar pun kini meyakini bahwa The Fed tak akan bergerak terlalu agresif dalam mengerek suku bunga acuan. Perekonomian AS tak butuh suku bunga acuan yang terlampau tinggi.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 6 Desember 2018, pelaku pasar hanya memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 1 kali (25 bps) pada tahun 2019, dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps pada bulan ini.
Probabilitas untuk kenaikan sebanyak 1 kali saja tahun depan adalah sebesar 37,2%, naik dari posisi 1 bulan lalu sebesar 25,6%.
Di sisi lain, probabilitas kenaikan sebanyak 3 kali (75 bps) hanya tersisa 3,9%, ambruk dari posisi 1 bulan yang lalu sebesar 21,6%.
Ketika The Fed tak agresif dalam mengerek suku bunga acuan, Bank Indonesia (BI) pun menjadi tak memiliki urgensi untuk bertindak agresif. Sepanjang tahun ini, suku bunga acuan sudah dikerek 175 bps guna membuat daya saing instrumen berpendapatan tetap dalam negeri tetap menarik. Kenaikan ini lebih besar dibandingkan yang dilakukan The Fed yakni 75 bps. Emiten-emiten perbankan berpotensi diuntungkan dengan tak terlalu agresifnya BI dalam menaikkan suku bunga acuan. Sepanjang tahun ini, kenaikan suku bunga acuan terbukti menjadi petaka bagi bank-bank di tanah air.
Mengikuti kenaikan suku bunga acuan, bank berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito. Sebagai informasi, di Indonesia deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 18,39% dari komposisi DPK bank umum per September 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,34%, seperti dilansir dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2018 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum per akhir 2017 adalah masing-masing sebesar 5,74% dan 6,13%. Per September 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 6,28% ( 54 bps) dan 6,29% ( 16 bps).
Masalahnya, kenaikan suku bunga deposito tak bisa di pass through ke suku bunga kredit. Malahan, suku bunga kredit turun sepanjang tahun ini. Berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit dibagi menjadi 3 yakni kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.
Per akhir 2017, rata-rata suku bunga kredit bank umum untuk modal kerja denominasi rupiah adalah sebesar 10,71%, investasi 10,56%, dan konsumsi 12,66%. Per September 2018, posisinya turun menjadi masing-masing sebesar 10,63% (-8 bps), 10,54% (-2 bps), dan 11,9% (-76 bps).
Hasilnya bisa ditebak, Net Interest Margin (NIM) menjadi tergerus. NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Sepanjang 9 bulan pertama 2018, NIM dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat sebesar 5,76%, turun 10 bps dari posisi 9 bulan pertama tahun 2017 yang sebesar 5,86%. Sementara itu, NIM dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 20 bps menjadi 5,3%, dari yang sebelumnya 5,5%.
NIM dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tergerus 42 bps menjadi 7,49%, dari yang sebelumnya 7,91% pada 9 bulan pertama tahun 2017. NIM dari PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 10 bps menjadi 6,1%, dari yang sebelumnya 6,2%.
Ketika suku bunga acuan tak dikerek secara agresif oleh BI, bank menjadi tak harus menaikkan suku bunga deposito secara signifikan yang pada akhirnya menekan NIM mereka.
Memang, saat ini bank menghadapi masalah ketatnya likuiditas lantaran dana nasabah banyak mengalir ke pasar obligasi. Melansir laporan Indikator Likuiditas periode November 2018 yang dipublikasikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Loan-to-Deposit Ratio (LDR) perbankan per akhir September 2018 adalah sebesar 93,4%, jauh di atas posisi akhir 2017 yang sebesar 89,6%.
Tingginya LDR datang sebagai akibat dari kencangnya penyaluran kredit yang tak diimbangi oleh tambahan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup. Hingga September 2018, penyaluran kredit tumbuh sebesar 12,7% YoY, sementara pertumbuhan DPK tipis saja di level 6,6% YoY.
Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Pada akhir 2017, jumlahnya adalah sebanyak 162.825 rekening dengan nilai Rp 508,1 triliun. Pada Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 163.257 dan nilainya tumbuh 0,75% menjadi Rp 511,9 triliun, seperti dilansir dari laporan Distribusi Simpanan Bank Umum periode Oktober 2018 yang diterbitkan LPS.
Pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 1,22%.
Untuk rekening dengan dana di atas Rp 5 miliar, per akhir 2017 jumlah rekeningnya adalah sebanyak 93.170 dengan nilai sebesar Rp 2.510 triliun. Per akhir Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 93.310 dan nilainya bertambah menjadi Rp 2.702 triliun ( 7,65%).
Pertumbuhan ini juga melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 13,55%.
Namun, perlu diingat bahwa kenaikan yield obligasi Indonesia sepanjang tahun ini merupakan hasil dari ekspektasi atas kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Fed (yang pada akhirnya akan diikuti oleh BI).
Ketika sekarang pelaku pasar dibuat percaya bahwa The Fed tak akan agresif lagi, yield obligasi Indonesia seharusnya ikut bergerak turun.
Dari dalam negeri, situasi mendukung untuk yield obligasi bergerak turun. BI meramalkan terjadi inflasi pada Desember 2018 sebesar 0,3% MoM. Hal ini terungkap berdasarkan survei yang dilakukan bank sentral pada pekan pertama bulan Desember.
"Survei pada pekan pertama Desember 0,3% (MoM). Kita akan lakukan survei terus sampai pekan keempat, kalau bisa bertahan, maka inflasi year to date 2,81% sama dengan year on year," papar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di Kompleks BI, Jumat (7/12/2018).
Jika yield obligasi turun mendekati tingkat suku bunga deposito, besar peluang pertumbuhan DPK akan terakselerasi. Pada perdagangan hari ini, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di level 8,045%.
Sudah NIM tak tertekan, penyaluran kredit bisa digenjot lantaran pertumbuhan DPK yang pesat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Asing Kok Banyak Lepas Saham Bank RI, Ada Apa?
Pelaku pasar larut dalam euforia yang datang dari Negeri Paman Sam. Wall Street Journal melaporkan bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait-and-see terkait kenaikan suku bunga acuan pada pertemuannya bulan ini, seperti dikutip dari CNBC International.
Laporan tersebut menyebut bahwa The Fed tidak tahu apa langkah mereka selanjutnya setelah pertemuan bulan ini.
Apalagi, data-data ekonomi di AS juga mengonfirmasi bahwa tekanan sedang menerpa perekonomian AS. Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis kemarin, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar.
Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada bulan November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000. Jumlah itu juga jatuh dari capaian bulan sebelumnya sebesar 225.000.
Masih dari data tenaga kerja, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran turun 4.000 orang menjadi 231.000 orang di sepanjang pekan lalu. Meski mencatat penurunan, tapi jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus Reuters yang meramalkan penurunan ke angka 225.000 orang.
Dari data lainnya, jumlah barang modal yang dipesan sektor industri di AS juga mengalami kontraksi 2,1% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Oktober, lebih besar dari kontraksi 1,9% yang diekspektasikan pasar. Angka itu juga melambat drastis dari capaian bulan September yang masih membukukan pertumbuhan 0,2%.
Belum diketatkan lebih lanjut saja, tekanan sudah menghampiri perekonomian AS. Untuk apa lagi melakukan normalisasi yang terlalu agresif? The Fed nampaknya mulai menyadari hal ini. Pelaku pasar pun kini meyakini bahwa The Fed tak akan bergerak terlalu agresif dalam mengerek suku bunga acuan. Perekonomian AS tak butuh suku bunga acuan yang terlampau tinggi.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 6 Desember 2018, pelaku pasar hanya memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 1 kali (25 bps) pada tahun 2019, dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps pada bulan ini.
Probabilitas untuk kenaikan sebanyak 1 kali saja tahun depan adalah sebesar 37,2%, naik dari posisi 1 bulan lalu sebesar 25,6%.
Di sisi lain, probabilitas kenaikan sebanyak 3 kali (75 bps) hanya tersisa 3,9%, ambruk dari posisi 1 bulan yang lalu sebesar 21,6%.
Ketika The Fed tak agresif dalam mengerek suku bunga acuan, Bank Indonesia (BI) pun menjadi tak memiliki urgensi untuk bertindak agresif. Sepanjang tahun ini, suku bunga acuan sudah dikerek 175 bps guna membuat daya saing instrumen berpendapatan tetap dalam negeri tetap menarik. Kenaikan ini lebih besar dibandingkan yang dilakukan The Fed yakni 75 bps. Emiten-emiten perbankan berpotensi diuntungkan dengan tak terlalu agresifnya BI dalam menaikkan suku bunga acuan. Sepanjang tahun ini, kenaikan suku bunga acuan terbukti menjadi petaka bagi bank-bank di tanah air.
Mengikuti kenaikan suku bunga acuan, bank berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito. Sebagai informasi, di Indonesia deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 18,39% dari komposisi DPK bank umum per September 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,34%, seperti dilansir dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2018 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum per akhir 2017 adalah masing-masing sebesar 5,74% dan 6,13%. Per September 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 6,28% ( 54 bps) dan 6,29% ( 16 bps).
Masalahnya, kenaikan suku bunga deposito tak bisa di pass through ke suku bunga kredit. Malahan, suku bunga kredit turun sepanjang tahun ini. Berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit dibagi menjadi 3 yakni kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.
Per akhir 2017, rata-rata suku bunga kredit bank umum untuk modal kerja denominasi rupiah adalah sebesar 10,71%, investasi 10,56%, dan konsumsi 12,66%. Per September 2018, posisinya turun menjadi masing-masing sebesar 10,63% (-8 bps), 10,54% (-2 bps), dan 11,9% (-76 bps).
Hasilnya bisa ditebak, Net Interest Margin (NIM) menjadi tergerus. NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Sepanjang 9 bulan pertama 2018, NIM dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat sebesar 5,76%, turun 10 bps dari posisi 9 bulan pertama tahun 2017 yang sebesar 5,86%. Sementara itu, NIM dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 20 bps menjadi 5,3%, dari yang sebelumnya 5,5%.
NIM dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tergerus 42 bps menjadi 7,49%, dari yang sebelumnya 7,91% pada 9 bulan pertama tahun 2017. NIM dari PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 10 bps menjadi 6,1%, dari yang sebelumnya 6,2%.
Ketika suku bunga acuan tak dikerek secara agresif oleh BI, bank menjadi tak harus menaikkan suku bunga deposito secara signifikan yang pada akhirnya menekan NIM mereka.
Memang, saat ini bank menghadapi masalah ketatnya likuiditas lantaran dana nasabah banyak mengalir ke pasar obligasi. Melansir laporan Indikator Likuiditas periode November 2018 yang dipublikasikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Loan-to-Deposit Ratio (LDR) perbankan per akhir September 2018 adalah sebesar 93,4%, jauh di atas posisi akhir 2017 yang sebesar 89,6%.
Tingginya LDR datang sebagai akibat dari kencangnya penyaluran kredit yang tak diimbangi oleh tambahan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup. Hingga September 2018, penyaluran kredit tumbuh sebesar 12,7% YoY, sementara pertumbuhan DPK tipis saja di level 6,6% YoY.
Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Pada akhir 2017, jumlahnya adalah sebanyak 162.825 rekening dengan nilai Rp 508,1 triliun. Pada Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 163.257 dan nilainya tumbuh 0,75% menjadi Rp 511,9 triliun, seperti dilansir dari laporan Distribusi Simpanan Bank Umum periode Oktober 2018 yang diterbitkan LPS.
Pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 1,22%.
Untuk rekening dengan dana di atas Rp 5 miliar, per akhir 2017 jumlah rekeningnya adalah sebanyak 93.170 dengan nilai sebesar Rp 2.510 triliun. Per akhir Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 93.310 dan nilainya bertambah menjadi Rp 2.702 triliun ( 7,65%).
Pertumbuhan ini juga melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 13,55%.
Namun, perlu diingat bahwa kenaikan yield obligasi Indonesia sepanjang tahun ini merupakan hasil dari ekspektasi atas kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Fed (yang pada akhirnya akan diikuti oleh BI).
Ketika sekarang pelaku pasar dibuat percaya bahwa The Fed tak akan agresif lagi, yield obligasi Indonesia seharusnya ikut bergerak turun.
Dari dalam negeri, situasi mendukung untuk yield obligasi bergerak turun. BI meramalkan terjadi inflasi pada Desember 2018 sebesar 0,3% MoM. Hal ini terungkap berdasarkan survei yang dilakukan bank sentral pada pekan pertama bulan Desember.
"Survei pada pekan pertama Desember 0,3% (MoM). Kita akan lakukan survei terus sampai pekan keempat, kalau bisa bertahan, maka inflasi year to date 2,81% sama dengan year on year," papar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara di Kompleks BI, Jumat (7/12/2018).
Jika yield obligasi turun mendekati tingkat suku bunga deposito, besar peluang pertumbuhan DPK akan terakselerasi. Pada perdagangan hari ini, yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di level 8,045%.
Sudah NIM tak tertekan, penyaluran kredit bisa digenjot lantaran pertumbuhan DPK yang pesat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Asing Kok Banyak Lepas Saham Bank RI, Ada Apa?
Most Popular