
Newsletter
Wall Street Lolos dari 'Maut', IHSG Bagaimana?
Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 December 2018 06:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih betah di zona merah pada perdagangan kemarin, Kamis (6/12/2018). Dibuka melemah 0,62%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu memperbaiki posisinya walaupun masih melemah. IHSG menutup perdagangan koreksi 0,29% ke level 6.115,49.
Seluruh indeks saham kawasan Asia kompak melemah. Namun, pelemahan IHSG merupakan yang paling tipis, menjadikannya indeks saham dengan performa terbaik di kawasan, bersama dengan indeks KLCI (Malaysia) yang juga turun 0,29%.
Indeks Nikkei turun 1,91%, indeks Shanghai turun 1,68%, indeks Hang Seng turun 2,47%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,55%, indeks SET (Thailand) turun 1,11%, indeks PSEi (Filipina) turun 1,25%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 1,69%.
Sementara itu, dibuka melemah 0,28%, nilai tukar rupiah sempat melemah lebih dari 1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Meski demikian, pada akhir perdagangan pelemahannya menipis menjadi 0,87% ke level Rp 14.515/US$.
Berbanding terbalik dengan IHSG, nilai tukar rupiah kembali memegang predikat sebagai mata uang Asia dengan performa terburuk kemarin. Meski mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan greenback, tetapi rupiah menjadi yang terlemah. Dengan begitu, rupiah sudah menjadi mata uang paling lemah di Asia selama tiga hari beruntun.
Hingga pukul 16.13 WIB kemarin, yuan China melemah 0,5%, rupee India melemah 0,69%, won Korea Selatan melemah 0,61%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,18%, dolar Singapura terdepresiasi 0,29%, baht Thailand melemah 0,34%, dan dolar Taiwan terdepresiasi 0,2%.
Hanya yen Jepang dan dolar Hongkong yang masih perkasa terhadap dolar AS, dengan penguatan masing-masing sebesar 0,45% dan 0,01%.
Pasar keuangan Asia ditinggalkan investor seiring dengan dengan pasar obligasi AS yang masih mengindikasikan terjadinya resesi. Hingga sore kemarin, spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor tiga dan lima tahun melebar menjadi 3 bps.
Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam tiga resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun terjadi rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Alhasil, pelaku pasar dibuat berhamburan mencari instrumen safe haven guna mengamankan dananya. Greenback pun menjadi primadona pada perdagangan kemarin.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Seluruh indeks saham kawasan Asia kompak melemah. Namun, pelemahan IHSG merupakan yang paling tipis, menjadikannya indeks saham dengan performa terbaik di kawasan, bersama dengan indeks KLCI (Malaysia) yang juga turun 0,29%.
Indeks Nikkei turun 1,91%, indeks Shanghai turun 1,68%, indeks Hang Seng turun 2,47%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,55%, indeks SET (Thailand) turun 1,11%, indeks PSEi (Filipina) turun 1,25%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 1,69%.
Sementara itu, dibuka melemah 0,28%, nilai tukar rupiah sempat melemah lebih dari 1% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Meski demikian, pada akhir perdagangan pelemahannya menipis menjadi 0,87% ke level Rp 14.515/US$.
Berbanding terbalik dengan IHSG, nilai tukar rupiah kembali memegang predikat sebagai mata uang Asia dengan performa terburuk kemarin. Meski mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan greenback, tetapi rupiah menjadi yang terlemah. Dengan begitu, rupiah sudah menjadi mata uang paling lemah di Asia selama tiga hari beruntun.
Hingga pukul 16.13 WIB kemarin, yuan China melemah 0,5%, rupee India melemah 0,69%, won Korea Selatan melemah 0,61%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,18%, dolar Singapura terdepresiasi 0,29%, baht Thailand melemah 0,34%, dan dolar Taiwan terdepresiasi 0,2%.
Hanya yen Jepang dan dolar Hongkong yang masih perkasa terhadap dolar AS, dengan penguatan masing-masing sebesar 0,45% dan 0,01%.
Pasar keuangan Asia ditinggalkan investor seiring dengan dengan pasar obligasi AS yang masih mengindikasikan terjadinya resesi. Hingga sore kemarin, spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor tiga dan lima tahun melebar menjadi 3 bps.
Dalam tiga resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam tiga resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun terjadi rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Alhasil, pelaku pasar dibuat berhamburan mencari instrumen safe haven guna mengamankan dananya. Greenback pun menjadi primadona pada perdagangan kemarin.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Next Page
Wall Street Lolos dari ‘Maut’
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular