
Cuaca China Mendingin, Harga Batu Bara Naik 3 Hari Beruntun
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 December 2018 13:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan hari Selasa (4/12/2018), harga batu bara Newcastle kontrak acuan mampu naik 0,39% ke level US$ 102,85/Metrik Ton (MT). Penguatan ini menjadi yang ketiga harinya secara berturut-turut.
Sejumlah sentimen positif memang mampu menyokong pergerakan harga batu bara kemarin. Dari data ekonomi China yang memuaskan, hingga konsumsi batu bara Negeri Panda yang diekspektasikan akan meningkat menyusul tibanya puncak musim dingin.
Meski demikian, kebingungan pelaku pasar terhadap perkembangan negosiasi dagang Amerika Serikat (AS) - China, membatasi penguatan harga si batu hitam kemarin.
Pada awal pekan ini, Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada November 2018 tercatat 50,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,1 dan lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang sebesar 50.
Indeks pemesanan baru (new orders) naik dari 50,4 pada Oktober menjadi 50,9 bulan lalu. Ada harapan permintaan domestik di Negeri Tirai Bambu masih tumbuh, sehingga walau ekonomi mungkin melambat tetapi tidak ada hard landing.
Hal ini lantas menjadi sinyal bahwa permintaan energi (termasuk batu bara) dari China masih akan terjaga ke depannya.
Kemudian, harga batu bara juga mendapatkan energi dari ekspektasi bahwa temperatur di dataran China akan jatuh pada pekan ini. Musim dingin kini sudah mencapai puncaknya di Negeri Tirai Bambu.
Pelaku pasar pun berekspektasi bahwa konsumsi batu bara di pembangkit listrik utama China bisa mengalami rebound. Meningkatnya konsumsi jelas akan mendukung pengurangan stok batu bara yang sedang tinggi-tingginya.
Sebagai informasi, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China sudah meningkat dalam 8 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 2,12% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,88 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 30 November 2018.
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Dinamika permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
Meski demikian, sentimen damai dagang AS-China yang sebelumnya menjadi sentimen positif utama, kemarin malah membatasi kenaikan harga batu bara.
Seperti diketahui, pada akhir pekan lalu Washington-Beijing sepakat untuk menempuh gencatan senjata dan menghentikan perang dagang, setidaknya sampai 90 hari.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Akan tetapi, pelaku pasar cenderung dibuat bingung terkait kesepakatan dua raksasa ekonomi dunia ini. Terdapat perbedaan antara deskripsi kesepakatan yang disampaikan oleh Gedung Putih, Trump, dan pemerintah China.
Sang presiden Negeri Paman Sam menyatakan bahwa pemerintahan China akan "membuka diri" dan membatalkan bea masuk. Bahkan, Trump mendeskripsikan bahwa kesepakatan di Buenos Aires merupakan kesepakatan terbesar yang pernah terjadi.
Sementara, pernyataan resmi Gedung Putih menekankan bahwa sifat kesepakatan adalah untuk tidak menaikkan bea masuk lebih jauh secara sementara. Hanya ada sedikit indikasi bahwa China akan "membuka diri".
Juru bicara Gedung Putih hanya menyampaikan bahwa Beijing setuju akan membeli sejumlah produk made in USA untuk mengurangi ketidakseimbangan perdagangan antar kedua negara. Itupun dideskripsikan sebagai "belum benar-benar disepakati, tapi sangat substansial".
Beda lagi dengan yang diucapkan pemerintah Negeri Panda. Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan bahwa kedua negara akan sama-sama mengeliminasi bea masuk yang ada. Padahal, belum ada pernyataan dari AS terkait mereka akan memodifikasi bea masuk yang sudah mereka terapkan.
Tidak hanya itu, beberapa investor juga masih skeptis perihal apakah AS-China mampu menegosiasikan perdamaian dagang hanya dalam waktu 90 hari. Padahal, ada banyak isu yang harus dicarikan solusinya, dari mulai pemaksaan transfer teknologi, hak kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, hingga pencurian cyber.
Segala kebingungan tersebut membuat pasar bertanya-tanya. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi sebelumya adalah tindakan berlebihan?
Saat perbaikan perdagangan dan ekonomi dunia kini sifatnya masih abu-abu, pelaku pasar pun lebih bermain hati-hati. Belum ada jaminan pasti bahwa permintaan komoditas energi dunia (termasuk batu bara) akan pulih. Hal ini kemudian membatasi kenaikan harga batu bara kemarin.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Sejumlah sentimen positif memang mampu menyokong pergerakan harga batu bara kemarin. Dari data ekonomi China yang memuaskan, hingga konsumsi batu bara Negeri Panda yang diekspektasikan akan meningkat menyusul tibanya puncak musim dingin.
Meski demikian, kebingungan pelaku pasar terhadap perkembangan negosiasi dagang Amerika Serikat (AS) - China, membatasi penguatan harga si batu hitam kemarin.
Pada awal pekan ini, Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada November 2018 tercatat 50,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,1 dan lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang sebesar 50.
Indeks pemesanan baru (new orders) naik dari 50,4 pada Oktober menjadi 50,9 bulan lalu. Ada harapan permintaan domestik di Negeri Tirai Bambu masih tumbuh, sehingga walau ekonomi mungkin melambat tetapi tidak ada hard landing.
Hal ini lantas menjadi sinyal bahwa permintaan energi (termasuk batu bara) dari China masih akan terjaga ke depannya.
Kemudian, harga batu bara juga mendapatkan energi dari ekspektasi bahwa temperatur di dataran China akan jatuh pada pekan ini. Musim dingin kini sudah mencapai puncaknya di Negeri Tirai Bambu.
Pelaku pasar pun berekspektasi bahwa konsumsi batu bara di pembangkit listrik utama China bisa mengalami rebound. Meningkatnya konsumsi jelas akan mendukung pengurangan stok batu bara yang sedang tinggi-tingginya.
Sebagai informasi, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China sudah meningkat dalam 8 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 2,12% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,88 juta ton, dalam sepekan hingga tanggal 30 November 2018.
Sebagai catatan, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 MT pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global. Dinamika permintaan impor China akan sangat memengaruhi pergerakan harga batu bara dunia.
Meski demikian, sentimen damai dagang AS-China yang sebelumnya menjadi sentimen positif utama, kemarin malah membatasi kenaikan harga batu bara.
Seperti diketahui, pada akhir pekan lalu Washington-Beijing sepakat untuk menempuh gencatan senjata dan menghentikan perang dagang, setidaknya sampai 90 hari.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Akan tetapi, pelaku pasar cenderung dibuat bingung terkait kesepakatan dua raksasa ekonomi dunia ini. Terdapat perbedaan antara deskripsi kesepakatan yang disampaikan oleh Gedung Putih, Trump, dan pemerintah China.
Sang presiden Negeri Paman Sam menyatakan bahwa pemerintahan China akan "membuka diri" dan membatalkan bea masuk. Bahkan, Trump mendeskripsikan bahwa kesepakatan di Buenos Aires merupakan kesepakatan terbesar yang pernah terjadi.
Sementara, pernyataan resmi Gedung Putih menekankan bahwa sifat kesepakatan adalah untuk tidak menaikkan bea masuk lebih jauh secara sementara. Hanya ada sedikit indikasi bahwa China akan "membuka diri".
Juru bicara Gedung Putih hanya menyampaikan bahwa Beijing setuju akan membeli sejumlah produk made in USA untuk mengurangi ketidakseimbangan perdagangan antar kedua negara. Itupun dideskripsikan sebagai "belum benar-benar disepakati, tapi sangat substansial".
Beda lagi dengan yang diucapkan pemerintah Negeri Panda. Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan bahwa kedua negara akan sama-sama mengeliminasi bea masuk yang ada. Padahal, belum ada pernyataan dari AS terkait mereka akan memodifikasi bea masuk yang sudah mereka terapkan.
Tidak hanya itu, beberapa investor juga masih skeptis perihal apakah AS-China mampu menegosiasikan perdamaian dagang hanya dalam waktu 90 hari. Padahal, ada banyak isu yang harus dicarikan solusinya, dari mulai pemaksaan transfer teknologi, hak kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, hingga pencurian cyber.
Segala kebingungan tersebut membuat pasar bertanya-tanya. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi sebelumya adalah tindakan berlebihan?
Saat perbaikan perdagangan dan ekonomi dunia kini sifatnya masih abu-abu, pelaku pasar pun lebih bermain hati-hati. Belum ada jaminan pasti bahwa permintaan komoditas energi dunia (termasuk batu bara) akan pulih. Hal ini kemudian membatasi kenaikan harga batu bara kemarin.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular