Bank Kompak Naikkan Bunga Deposito, Perlukah di-Capping?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 December 2018 20:36
Bank Kompak Naikkan Bunga Deposito, Perlukah di-Capping?
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas Rupiah di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta
Jakarta, CNBC Indonesia - Perbankan di tanah air saat ini sedang mengalami permasalahan ketatnya likuiditas. Melansir laporan Indikator Likuiditas periode November 2018 yang dipublikasikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Loan-to-Deposit Ratio (LDR) perbankan per akhir September 2018 adalah sebesar 93,4%, jauh di atas posisi akhir 2017 yang sebesar 89,6%.

Tingginya LDR datang sebagai akibat dari kencangnya penyaluran kredit yang tak diimbangi oleh tambahan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup. Hingga September 2018, penyaluran kredit tumbuh sebesar 12,7% YoY, sementara pertumbuhan DPK tipis saja di level 6,6% YoY.

Situasi ini berbalik dari yang terjadi pada tahun 2017. Hingga akhir September 2017, penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh 8% YoY, sementara DPK melejit hingga 11,7% YoY.

Hal ini tentu menjadi pertanyaan. Pasalnya, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17% YoY sepanjang 9 bulan pertama tahun ini, mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 5,03% YoY. Masyarakat sebenarnya memiliki dana yang lebih banyak untuk disimpan di bank.

Hal ini memang benar adanya. Tapi, dana tersebut ternyata mengalir deras ke pasar obligasi. Sepanjang tahun ini, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia terus merangkak naik sehingga membuatnya lebih menarik di mata investor.



Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Pada akhir 2017, jumlahnya adalah sebanyak 162.825 rekening dengan nilai Rp 508,1 triliun. Pada Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 163.257 dan nilainya tumbuh 0,75% menjadi Rp 511,9 triliun, seperti dilansir dari laporan Distribusi Simpanan Bank Umum periode Oktober 2018 yang diterbitkan LPS.

Pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 1,22%.

Untuk rekening dengan dana di atas Rp 5 miliar, per akhir 2017 jumlah rekeningnya adalah sebanyak 93.170 dengan nilai sebesar Rp 2.510 triliun. Per akhir Oktober 2018, jumlah rekening naik menjadi sebanyak 93.310 dan nilainya bertambah menjadi Rp 2.702 triliun (+7,65%).

Pertumbuhan ini juga melambat dibandingkan periode Desember 2016-Oktober 2017 yang sebesar 13,55%.
Guna mengakali lambatnya pertumbuhan DPK, bank pun berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito. Sebagai informasi, di Indonesia deposito tenor 1 dan 3 bulan merupakan yang paling diminati. Deposito tenor 1 bulan denominasi rupiah berkontribusi sebesar 18,39% dari komposisi DPK bank umum per September 2018. Untuk tenor 3 bulan, kontribusinya adalah sebesar 12,34%.

Rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor 1 dan 3 bulan dari bank umum per akhir 2017 adalah masing-masing sebesar 5,74% dan 6,13%. Per September 2018, posisinya naik menjadi masing-masing 6,28% (+54 bps) dan 6,29% (+16 bps).

Masalahnya, kenaikan suku bunga deposito tak bisa di-pass through ke suku bunga kredit. Malahan, suku bunga kredit turun sepanjang tahun ini. Berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit dibagi menjadi 3 yakni kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.

Per akhir 2017, rata-rata suku bunga kredit bank umum untuk modal kerja denominasi rupiah adalah sebesar 10,71%, investasi 10,56%, dan konsumsi 12,66%. Per September 2018, posisinya turun menjadi masing-masing sebesar 10,63% (-8 bps), 10,54% (-2 bps), dan 11,9% (-76 bps).

Hasilnya bisa ditebak, Net Interest Margin (NIM) menjadi tergerus. NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.

Sepanjang 9 bulan pertama 2018, NIM dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat sebesar 5,76%, turun 10 bps dari posisi 9 bulan pertama tahun 2017 yang sebesar 5,86%. Sementara itu, NIM dari PT Bank Negara Indonesia (BBNI) turun 20 bps menjadi 5,3%, dari yang sebelumnya 5,5%.

NIM dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tergerus 42 bps menjadi 7,49%, dari yang sebelumnya 7,91% pada 9 bulan pertama tahun 2017. NIM dari PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 10 bps menjadi 6,1%, dari yang sebelumnya 6,2%. Sepanjang tahun 2018, penyaluran kredit perbankan di tanah air banyak tertolong oleh gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini terlihat dari porsi kredit modal kerja yang membesar.

Per akhir 2017, penyaluran kredit modal kerja tercatat sebesar Rp 2.223 triliun atau setara dengan 46,9% dari total penyaluran kredit bank umum. Per September 2018, nilainya naik menjadi Rp 2.424 triliun atau setara dengan 47,3%. Hal ini tentu menjadi risiko bagi perbankan. Jika kondisi fiskal pemerintah tertekan misalnya, belanja infrastruktur bisa dikurangi sehingga permintaan kredit akan tertekan. Belum lagi jika Current Account Deficit (CAD) terus-menerus membengkak, pemerintah bisa secara signifikan menyetop pembangunan proyek-proyek infrastruktur guna menyelamatkan rupiah.

Saat ini, walaupun NIM tertekan, penyaluran kredit yang tinggi bisa menyelamatkan profitabilitas perbankan. Penyaluran kredit bank umum tumbuh hingga 13,35% YoY pada Oktober 2018, naik dari capaian periode September 2018 yang sebesar 12,7% YoY, seperti dilansir dari Reuters. Capaian ini merupakan yang terkencang sejak Agustus 2014 silam atau lebih dari 4 tahun.



Ketika bank terus saja mengerek suku bunga deposito tetapi di sisi lain penyaluran kredit terhambat, tentu profitabilitas pada akhirnya menjadi dipertaruhkan. Nampaknya, tak ada jalan lain guna menyelamatkan perbankan tanah air kecuali dengan melakukan capping atas suku bunga deposito. Bahkan, permintaan ini sudah datang dari pelaku industri sendiri. Adalah Direktur Utama Bank Dinar Indonesia, Hendra Lie, yang mengatakan bahwa capping bunga deposito perlu dilakukan karena bank menengah dan besar mulai menawarkan bunga deposito terlalu tinggi dan membuat bank umum BUKU 1 dan 2 tidak mampu bersaing.

"Pembatasan ini masih wajar. Mereka BUKU 3 dan BUKU 4 produknya lebih beragam, mereka masih bisa leluasa mencari sumber pendanaan, sementara bank BUKU 1 dan BUKU 2 hanya bisa organik saja. Jadi sudah seharusnya rate-nya gak perlu lebih tinggi dari kami. Sekarang mereka lebih tinggi, ada yang sampai di atas 9% bahkan," keluh Hendra Lie kepada CNBC Indonesia, Senin (3/12/2018).

Sebagai informasi, tingkat suku bunga penjaminan LPS untuk simpanan berdenominasi rupiah dari bank umum adalah sebesar 6,75%.

Jika benar diterapkan nantinya, tentu ini bukan hal yang baru bagi pelaku pasar. Pada 2015 silam, OJK pernah menerapkan capping suku bunga deposito. Pada saat itu, kondisi likuiditas sedang ketat seperti pada saat ini. OJK mematok suku bunga deposito bank BUKU 4 maksimal 75 bps di atas BI rate dan untuk bank BUKU 3 dipatok maksimal 100 bps di atas BI Rate. Adapun bank BUKU 1 dan BUKU 2 tidak terkena aturan capping.

Dengan menerapkan capping, bank tak bisa lagi mengambil risiko berlebih dengan menawarkan suku bunga deposito yang kelewat tinggi.

Di satu sisi, penerapan capping memang berpotensi mematikan ruang gerak dari bank-bank di tanah air. Namun, lebih baik membatasi ruang gerak perbankan dan meminimalisir risiko di sistem keuangan tanah air ketimbang membiarkan bank bergerak secara ‘liar’ dan memacu laju perekonomian, tapi besar juga risiko yang datang karenanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular