
Seharian di Zona Merah, Rupiah Jadi yang Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 December 2018 17:09

Seperti penyebab pelemahan dolar AS, tampaknya juga ada dua faktor yang membebani rupiah. Pertama adalah harga minyak yang belum berhenti naik sejak kemarin. Pada pukul 16:49 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2% sementara light sweet melompat 2,07%.
Ada potensi kenaikan harga si emas hitam bertahan cukup lama setelah hancur-lebur dalam sebulan terakhir. Sebab damai dagang AS-China memunculkan harapan bahwa perekonomian global tidak lagi suram.
Jika AS-China benar-benar berdamai dan tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok dunia (global supply chain) akan berjalan lancar. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi bisa lebih kencang dari perkiraan sebelumnya.
Saat ekonomi bergairah, maka permintaan energi akan ikut naik. Kenaikan permintaan tentu akan menaikkan harga sumber energi, utamanya minyak.
Namun bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Pasalnya, beban impor migas akan membengkak karena harga naik, padahal volume yang diimpor mungkin tidak bertambah.
Artinya, neraca migas akan mengalami defisit yang semakin parah dan membuat lubang di transaksi berjalan (current account) kian menganga. Transaksi berjalan yang defisit, apalagi semakin dalam karena pembengkakan impor minyak, berarti rupiah tidak punya modal untuk menguat karena minimnya pasokan devisa.
Jika kenaikan harga minyak kemungkinan bertahan cukup lama, maka derita yang dialami rupiah pun tidak akan sebentar. Melihat risiko ini, investor pun berpikir berulang kali sebelum mengoleksi rupiah karena ke depan harganya kemungkinan turun.
Faktor kedua adalah ambil untung. Sejak 30 Oktober sampai kemarin, rupiah sudah menguat 6,48%.
Bagi sebagian investor, angka itu mungkin cukup menggiurkan sehingga memancing aksi ambil untung (profit taking). Tekanan jual membuat rupiah melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Ada potensi kenaikan harga si emas hitam bertahan cukup lama setelah hancur-lebur dalam sebulan terakhir. Sebab damai dagang AS-China memunculkan harapan bahwa perekonomian global tidak lagi suram.
Saat ekonomi bergairah, maka permintaan energi akan ikut naik. Kenaikan permintaan tentu akan menaikkan harga sumber energi, utamanya minyak.
Namun bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Pasalnya, beban impor migas akan membengkak karena harga naik, padahal volume yang diimpor mungkin tidak bertambah.
Artinya, neraca migas akan mengalami defisit yang semakin parah dan membuat lubang di transaksi berjalan (current account) kian menganga. Transaksi berjalan yang defisit, apalagi semakin dalam karena pembengkakan impor minyak, berarti rupiah tidak punya modal untuk menguat karena minimnya pasokan devisa.
Jika kenaikan harga minyak kemungkinan bertahan cukup lama, maka derita yang dialami rupiah pun tidak akan sebentar. Melihat risiko ini, investor pun berpikir berulang kali sebelum mengoleksi rupiah karena ke depan harganya kemungkinan turun.
Faktor kedua adalah ambil untung. Sejak 30 Oktober sampai kemarin, rupiah sudah menguat 6,48%.
Bagi sebagian investor, angka itu mungkin cukup menggiurkan sehingga memancing aksi ambil untung (profit taking). Tekanan jual membuat rupiah melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular