
Seharian di Zona Merah, Rupiah Jadi yang Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 December 2018 17:09

Mayoritas mata uang Asia mampu memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 16:27 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,44%.
Setidaknya ada dua hal yang membuat dolar AS terkoreksi. Pertama adalah perkembangan positif dari hubungan dagang AS-China. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari terhitung mulai 1 Januari.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
China pun dikabarkan bersedia menghapus bea masuk atas impor mobil asal AS. Saat ini, tarif bea masuk untuk mobil made in USA adalah 40%.
Hawa damai dagang yang semakin terasa membuat investor lega. Untuk saat ini sentimen negatif besar bernama perang dagang AS vs China bisa dikesampingkan, sehingga pelaku pasar ogah bermain aman. Arus modal pun mengalir ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang, termasuk di Asia.
Faktor kedua adalah penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 16:34 WIB:
Koreksi yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Mengapa hal ini malah menjadi negatif buat dolar AS?
Well, saat ini investor sudah mulai berpersepsi The Federal Reserve/The Fed kemungkinan tidak lagi terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Hal tersebut tercermin dari notulensi rapat (minutes of meeting) edisi November 2018 yang dirilis pekan lalu.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Artinya, The Fed akan semakin hati-hati dalam menentukan posisi (stance) kebijakan moneter ke depan. The Fed yang tadinya sangat hawkish berubah menjadi sedikit dovish.
Ini membuat potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada 2019 menjadi penuh tanda tanya. Potensi kenaikan suku bunga hanya dua kali sepertinya semakin besar.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbal hasil investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Dihantui oleh potensi kenaikan yield yang melambat karena The Fed berubah dovish, investor pun memborong obligasi sekarang sebelum yield semakin turun ke depannya.
Aksi borong terhadap obligasi hasilnya adalah penurunan yield, yang kemudian justru menjadi sinyal bearish bagi dolar AS. Sebab, yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon di lelang obligasi.
Lelang terdekat akan digelar tengah malam ini waktu Indonesia, yang melibatkan tenor 1 tahun, 1 bulan, dan 2 bulan. Target indikatif dalam lelang ini adalah US$ 96 miliar.
Namun jika yield terus turun, maka kupon yang ditawarkan dalam lelang berpotensi kurang menarik. Akibatnya ada kemungkinan lelang menjadi kurang semarak karena minat terhadap obligasi pemerintah AS yang minim. Saat permintaan terhadap obligasi AS turun, maka permintaan dolar AS juga ikut merosot.
Tekanan luar-dalam yang dihadapi dolar AS membuat mata uang ini melemah secara global. Namun meski dolar AS tertekan hebat, mengapa rupiah tidak bisa memanfaatkan itu?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
(aji/aji)
Setidaknya ada dua hal yang membuat dolar AS terkoreksi. Pertama adalah perkembangan positif dari hubungan dagang AS-China. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari terhitung mulai 1 Januari.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Hawa damai dagang yang semakin terasa membuat investor lega. Untuk saat ini sentimen negatif besar bernama perang dagang AS vs China bisa dikesampingkan, sehingga pelaku pasar ogah bermain aman. Arus modal pun mengalir ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang, termasuk di Asia.
Faktor kedua adalah penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 16:34 WIB:
Koreksi yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Mengapa hal ini malah menjadi negatif buat dolar AS?
Well, saat ini investor sudah mulai berpersepsi The Federal Reserve/The Fed kemungkinan tidak lagi terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Hal tersebut tercermin dari notulensi rapat (minutes of meeting) edisi November 2018 yang dirilis pekan lalu.
"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut.
Artinya, The Fed akan semakin hati-hati dalam menentukan posisi (stance) kebijakan moneter ke depan. The Fed yang tadinya sangat hawkish berubah menjadi sedikit dovish.
Ini membuat potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada 2019 menjadi penuh tanda tanya. Potensi kenaikan suku bunga hanya dua kali sepertinya semakin besar.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbal hasil investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Dihantui oleh potensi kenaikan yield yang melambat karena The Fed berubah dovish, investor pun memborong obligasi sekarang sebelum yield semakin turun ke depannya.
Aksi borong terhadap obligasi hasilnya adalah penurunan yield, yang kemudian justru menjadi sinyal bearish bagi dolar AS. Sebab, yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon di lelang obligasi.
Lelang terdekat akan digelar tengah malam ini waktu Indonesia, yang melibatkan tenor 1 tahun, 1 bulan, dan 2 bulan. Target indikatif dalam lelang ini adalah US$ 96 miliar.
Namun jika yield terus turun, maka kupon yang ditawarkan dalam lelang berpotensi kurang menarik. Akibatnya ada kemungkinan lelang menjadi kurang semarak karena minat terhadap obligasi pemerintah AS yang minim. Saat permintaan terhadap obligasi AS turun, maka permintaan dolar AS juga ikut merosot.
Tekanan luar-dalam yang dihadapi dolar AS membuat mata uang ini melemah secara global. Namun meski dolar AS tertekan hebat, mengapa rupiah tidak bisa memanfaatkan itu?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
(aji/aji)
Next Page
Ini Dua Faktor Pemberat Rupiah
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular