Seharian di Zona Merah, Rupiah Jadi yang Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 December 2018 17:09
Seharian di Zona Merah, Rupiah Jadi yang Terlemah di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Malang betul nasib rupiah hari ini. Mata uang Tanah Air melemah di hadapan dolar AS, sekaligus menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam di Asia. 

Pada Selasa (4/12/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot dibanderol Rp 14.285. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Saat pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah 0,46%. Selepas itu, depresiasi rupiah sempat semakin dalam ke kisaran 0,5%. 


Namun itu tidak bertahan lama karena perlahan pelemahan rupiah kembali menipis. Setelah tengah hari, rupiah cenderung minim dinamika dan terus bertahan di zona merah. Ya, rupiah tidak pernah menguat sepanjang hari ini. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah: 

 

Kawan rupiah hari ini tidak banyak, hanya peso Filipina, dolar Taiwan, dan rupee India yang senasib yaitu sama-sama melemah di hadapan dolar AS. Sedangkan mata uang Asia lainnya mampu menguat. 

Dengan pelemahan 0,35%, rupiah bahkan menjadi mata uang paling lemah di Asia hari ini. Setelah mengalami penguatan 3 hari beruntun, rupiah harus rela menerima kenyataan terhempas ke dasar klasemen mata uang Benua Kuning. 


Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:25 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mayoritas mata uang Asia mampu memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 16:27 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,44%.  

Setidaknya ada dua hal yang membuat dolar AS terkoreksi. Pertama adalah perkembangan positif dari hubungan dagang AS-China. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari terhitung mulai 1 Januari. 

AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur. 

China pun dikabarkan bersedia menghapus bea masuk atas impor mobil asal AS. Saat ini, tarif bea masuk untuk mobil made in USA adalah 40%. 

Hawa damai dagang yang semakin terasa membuat investor lega. Untuk saat ini sentimen negatif besar bernama perang dagang AS vs China bisa dikesampingkan, sehingga pelaku pasar ogah bermain aman. Arus modal pun mengalir ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang, termasuk di Asia. 


Faktor kedua adalah penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 16:34 WIB: 

 

Koreksi yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Mengapa hal ini malah menjadi negatif buat dolar AS? 

Well, saat ini investor sudah mulai berpersepsi The Federal Reserve/The Fed kemungkinan tidak lagi terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Hal tersebut tercermin dari notulensi rapat (minutes of meeting) edisi November 2018 yang dirilis pekan lalu.

"Para peserta menyiratkan bahwa sepertinya dalam rapat-rapat ke depan perlu ada perubahan bahasa penyampaian, di mana ada kalimat yang menyatakan pentingnya evaluasi terhadap berbagai data dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan ini akan membantu memandu Komite dalam situasi perekonomian yang dinamis," tulis notulensi tersebut. 

Artinya, The Fed akan semakin hati-hati dalam menentukan posisi (stance) kebijakan moneter ke depan. The Fed yang tadinya sangat hawkish berubah menjadi sedikit dovish

Ini membuat potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada 2019 menjadi penuh tanda tanya. Potensi kenaikan suku bunga hanya dua kali sepertinya semakin besar. 

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbal hasil investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Dihantui oleh potensi kenaikan yield yang melambat karena The Fed berubah dovish, investor pun memborong obligasi sekarang sebelum yield semakin turun ke depannya. 

Aksi borong terhadap obligasi hasilnya adalah penurunan yield, yang kemudian justru menjadi sinyal bearish bagi dolar AS. Sebab, yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon di lelang obligasi.  

Lelang terdekat akan digelar tengah malam ini waktu Indonesia, yang melibatkan tenor 1 tahun, 1 bulan, dan 2 bulan. Target indikatif dalam lelang ini adalah US$ 96 miliar. 

Namun jika yield terus turun, maka kupon yang ditawarkan dalam lelang berpotensi kurang menarik. Akibatnya ada kemungkinan lelang menjadi kurang semarak karena minat terhadap obligasi pemerintah AS yang minim. Saat permintaan terhadap obligasi AS turun, maka permintaan dolar AS juga ikut merosot.  

Tekanan luar-dalam yang dihadapi dolar AS membuat mata uang ini melemah secara global. Namun meski dolar AS tertekan hebat, mengapa rupiah tidak bisa memanfaatkan itu? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Seperti penyebab pelemahan dolar AS, tampaknya juga ada dua faktor yang membebani rupiah. Pertama adalah harga minyak yang belum berhenti naik sejak kemarin. Pada pukul 16:49 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2% sementara light sweet melompat 2,07%. 

Ada potensi kenaikan harga si emas hitam bertahan cukup lama setelah hancur-lebur dalam sebulan terakhir. Sebab damai dagang AS-China memunculkan harapan bahwa perekonomian global tidak lagi suram. 

 

Jika AS-China benar-benar berdamai dan tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok dunia (global supply chain) akan berjalan lancar. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi bisa lebih kencang dari perkiraan sebelumnya. 

Saat ekonomi bergairah, maka permintaan energi akan ikut naik. Kenaikan permintaan tentu akan menaikkan harga sumber energi, utamanya minyak. 

Namun bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk. Pasalnya, beban impor migas akan membengkak karena harga naik, padahal volume yang diimpor mungkin tidak bertambah. 

Artinya, neraca migas akan mengalami defisit yang semakin parah dan membuat lubang di transaksi berjalan (current account) kian menganga. Transaksi berjalan yang defisit, apalagi semakin dalam karena pembengkakan impor minyak, berarti rupiah tidak punya modal untuk menguat karena minimnya pasokan devisa. 

Jika kenaikan harga minyak kemungkinan bertahan cukup lama, maka derita yang dialami rupiah pun tidak akan sebentar. Melihat risiko ini, investor pun berpikir berulang kali sebelum mengoleksi rupiah karena ke depan harganya kemungkinan turun. 

Faktor kedua adalah ambil untung. Sejak 30 Oktober sampai kemarin, rupiah sudah menguat 6,48%.  

Bagi sebagian investor, angka itu mungkin cukup menggiurkan sehingga memancing aksi ambil untung (profit taking). Tekanan jual membuat rupiah melemah.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular