
Global Hingga Domestik Adem, Rupiah Juara 3 Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 December 2018 12:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin menguat. Rilis data inflasi sepertinya menjadi energi tambahan bagi mata uang Tanah Air.
Pada Senin (3/12/2018) pukul 12:04 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.225 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,52% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Mengawal hari, rupiah menguat 0,35%. Selepas itu rupiah agak stagnan, minim pergerakan yang berarti. Akan tetapi, rupiah konsisten di jalur hijau.
Namun selepas pukul 11:00 WIB, keperkasaan rupiah semakin nyata. Hal ini tidak lepas dari rilis data inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Inflasi pada November 2018 tercatat 0,27% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 3,23% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka ini di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,19% MtM dan 3,15% YoY. Konsensus yang dihimpun Reuters pun menunjukkan angka serupa.
Meski inflasi di atas ekspektasi pasar, tetapi penguatan rupiah justru semakin nyata. Ada kemungkinan pelaku pasar membaca bahwa konsumsi domestik masih kuat sehingga dunia usaha menaikkan harga dan konsumen mampu membeli.
Apalagi inflasi inti pada November tercatat 3,03% YoY, lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di 2,97% YoY. Artinya kelompok pengeluaran yang bersifat persisten pun masih tumbuh, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran pelemahan daya beli.
Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kala konsumsi rumah tangga masih tumbuh, ditandai dengan percepatan laju inflasi, maka ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kencang.
Investor tampaknya memberikan apresiasi dengan memborong aset-aset berbasis rupiah. Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat dengan penguatan 1,33% pada penutupan Sesi I. Lebih kencang dibandingkan kala pembukaan pasar yang menguat 1,03%.
Sementara di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 3,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat investor.
Di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan 'gencatan senjata' selama 90 hari. AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Perkembangan ini tentu sangat melegakan pasar. Sebab bukan tidak mungkin Washington dan Beijing akan berdamai selamanya jika dalam 90 hari tercapai kesepahaman yang lebih signifikan.
Apabila ini terjadi, maka perang dagang AS vs China resmi berakhir. Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global pun siap melesat, karena dua kekuatan terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat.
Kemudian dari sisi regional, investor juga menghembuskan nafas lega setelah rilis data ekonomi terbaru di China. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada November 2018 tercatat 50,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,1 dan lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang sebesar 50.
Indeks pemesanan baru (new orders) naik dari 50,4 pada Oktober menjadi 50,9 bulan lalu. Ada harapan permintaan domestik di Negeri Tirai Bambu masih tumbuh, sehingga walau ekonomi mungkin melambat tetapi tidak ada hard landing.
Perkembangan global dan regional yang kondusif ini membuat mata uang Asia, termasuk rupiah, mampu digdaya di hadapan dolar AS. Yuan China menjadi mata uang terkuat di Benua Kuning, disusul oleh Won Korea Selatan dan rupiah di posisi ketiga.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:16 WIB:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (3/12/2018) pukul 12:04 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.225 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,52% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Mengawal hari, rupiah menguat 0,35%. Selepas itu rupiah agak stagnan, minim pergerakan yang berarti. Akan tetapi, rupiah konsisten di jalur hijau.
Namun selepas pukul 11:00 WIB, keperkasaan rupiah semakin nyata. Hal ini tidak lepas dari rilis data inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Inflasi pada November 2018 tercatat 0,27% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 3,23% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka ini di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,19% MtM dan 3,15% YoY. Konsensus yang dihimpun Reuters pun menunjukkan angka serupa.
Meski inflasi di atas ekspektasi pasar, tetapi penguatan rupiah justru semakin nyata. Ada kemungkinan pelaku pasar membaca bahwa konsumsi domestik masih kuat sehingga dunia usaha menaikkan harga dan konsumen mampu membeli.
Apalagi inflasi inti pada November tercatat 3,03% YoY, lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di 2,97% YoY. Artinya kelompok pengeluaran yang bersifat persisten pun masih tumbuh, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran pelemahan daya beli.
Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kala konsumsi rumah tangga masih tumbuh, ditandai dengan percepatan laju inflasi, maka ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kencang.
Investor tampaknya memberikan apresiasi dengan memborong aset-aset berbasis rupiah. Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat dengan penguatan 1,33% pada penutupan Sesi I. Lebih kencang dibandingkan kala pembukaan pasar yang menguat 1,03%.
Sementara di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 3,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Data inflasi menambah energi bagi rupiah, yang sebenarnya juga sudah menguat karena iklim global dan regional tengah kondusif. Dari sisi global, investor bernafsu berburu aset-aset berisiko di negara berkembang karena redanya perang dagang AS vs China. Di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan 'gencatan senjata' selama 90 hari. AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% untuk importasi produk-produk made in China sebesar US$ 200 miliar yang seyogianya dilakukan pada 1 Januari 2019. Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak dari AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Perkembangan ini tentu sangat melegakan pasar. Sebab bukan tidak mungkin Washington dan Beijing akan berdamai selamanya jika dalam 90 hari tercapai kesepahaman yang lebih signifikan.
Apabila ini terjadi, maka perang dagang AS vs China resmi berakhir. Arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global pun siap melesat, karena dua kekuatan terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat.
Kemudian dari sisi regional, investor juga menghembuskan nafas lega setelah rilis data ekonomi terbaru di China. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada November 2018 tercatat 50,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,1 dan lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang sebesar 50.
Indeks pemesanan baru (new orders) naik dari 50,4 pada Oktober menjadi 50,9 bulan lalu. Ada harapan permintaan domestik di Negeri Tirai Bambu masih tumbuh, sehingga walau ekonomi mungkin melambat tetapi tidak ada hard landing.
Perkembangan global dan regional yang kondusif ini membuat mata uang Asia, termasuk rupiah, mampu digdaya di hadapan dolar AS. Yuan China menjadi mata uang terkuat di Benua Kuning, disusul oleh Won Korea Selatan dan rupiah di posisi ketiga.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:16 WIB:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular