Rupiah Terbaik Kedua di Asia Pekan Ini, Apa Resepnya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 November 2018 09:20
Rupiah Terbaik Kedua di Asia Pekan Ini, Apa Resepnya?
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat sepanjang pekan lalu. Rupiah mampu perkasa kala dolar AS malah menguat dan menyapu mayoritas mata uang Asia. Apa resep keperkasaan rupiah? 

Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 0,49% terhadap dolar AS secara point-to-point. Rupiah pun mencapai posisi terkuat sejak 10 Agustus. 



Nasib rupiah lebih beruntung dibandingkan sejumlah mata uang utama Asia. Dolar Singapura selama sepekan ini melemah 0,22%, ringgit Malaysia melemah 0,12%, yen Jepang melemah 0,12%, yuan China melemah 0,16%, dolar Taiwan melemah 0,01%, dan won Korea Selatan anjlok 1,08%. 

Selain rupiah, mata uang Asia yang menguat secara mingguan adalah peso Filipina (0,33%), dolar Hong Kong (0,05%), dan rupee India (1,84%). Rupee keluar sebagai juara Asia, sedangkan rupiah duduk di posisi runner-up. 

Tidak heran mata uang Asia mayoritas melemah di hadapan dolar AS. Sepekan ini, walau penuh onak dan duri, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih mampu menguat 0,47%. 

Penyebab utama masih tingginya preferensi investor terhadap mata uang Negeri Paman Sam adalah hubungan AS-China yang kembali menegang. Diawali oleh kegagalan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) mencapai komunike dalam KTT di Papua Nugini akhir pekan lalu. China dan AS saling jegal dalam perumusan naskah kesepakatan bersama, hasilnya adalah deadlock. 


China menuding AS memaksakan kehendak dan ingin membenarkan perilaku proteksionistis menjadi salah satu poin dalam komunike APEC. Sementara AS menuduh 20 dari 21 negara APEC sudah sepakat dengan komunike, hanya China yang belum bersedia dan membuyarkan semuanya. 

Friksi kian menjadi kala Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) melaporkan bahwa China masih belum melakukan reformasi ekonomi dengan sungguh-sungguh. Menurut Washington, Beijing gagal menekan praktik perdagangan tidak sehat seperti pencurian hak atas kekayaan intelektual atau pembatasan pemberian izin di bidang teknologi kepada pelaku usaha asing. 

"China belum mengubah perilaku tidak adil yang berpotensi menciptakan distorsi di pasar," tegas Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, mengutip Reuters. China panas, tidak terima dengan tuduhan itu.

Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, menegaskan bahwa tuduhan AS sama sekali tidak berdasar.
 

"AS membuat tuduhan baru yang tak berdasar kepada China. Kami sangat tidak bisa menerimanya. Kami harap AS mencabut kata-kata dan perilaku yang menghancurkan hubungan bilateral kedua negara," sebut Gao dalam jumpa pers di Beijing, dilansir Reuters. 

Friksi AS-China yang kembali muncul meredupkan harapan pasar. Jika tensi masih tinggi seperti sekarang, jangan-jangan pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 nanti tidak menghasilkan apa-apa?  

Tanda tanya besar masih menyelimuti hubungan dagang AS-China. Artinya masih ada satu ketidakpastian besar yang bisa menjadi sentimen negatif yang menghancurkan mood pelaku pasar. Hasilnya adalah investor cenderung bermain aman dan memilih memegang dolar AS yang berstatus safe haven. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Apa yang membuat rupiah mampu melawan arus penguatan dolar AS yang menyapu berbagai mata uang Asia? Setidaknya ada dua penyebab. 

Pertama adalah derasnya arus modal di pasar keuangan Indonesia, utamanya di pasar obligasi. Masuknya arus modal terlihat dari penurunan imbal hasil (yield), pertanda harga obligasi sedang naik akibat tingginya permintaan.  

Selama sepekan ini, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun anjlok 15,6 basis poin (bps). Yield instrumen ini mencapai titik terendah sejak 23 Agustus. 



Meski sudah lebih dari seminggu, investor tampaknya masih mengapresiasi langkah Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6%. Sejak Mei, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah naik 175 basis poin. 

BI mengakui bahwa tujuan utama kenaikan suku bunga acuan adalah membuat pasar keuangan lebih atraktif. Sebab kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. 

Dilatarbelakangi pencarian cuan, investor terus masuk ke pasar obligasi pemerintah. Per 21 November, nilai kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah Indonesia adalah Rp 889,21 triliun. Naik 6,23% dibandingkan posisi awal tahun. 

Ke depan, bukan tidak mungkin BI akan tetap mengedepankan sikap (stance) moneter yang ketat alias hawkish. Sebab, pada 2019 sepertinya The Federal Reserve/The Fed masih akan melanjutkan siklus kenaikan suku bunga acuan. Pasar memperkirakan Federal Funds Rate akan naik setidaknya tiga kali tahun depan.

Tidak hanya The Fed, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) pun diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuan paling cepat musim panas (tengah tahun) 2019. Selamat tinggal suku bunga rendah, selamat datang di era normal baru yaitu suku bunga tinggi.  

Apabila BI tidak mengikuti tren ini, maka pelaku pasar berpotensi akan meninggalkan Indonesia. Oleh karena itu, kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sepertinya masih akan terjadi tahun depan. Imbal hasil hasil obligasi pun bisa terus terkerek sehingga semakin menggiurkan. 

Melihat potensi itu, pelaku pasar berbondong-bondong terus masuk ke pasar obligasi pemerintah Indonesia. Derasnya arus modal itu berkontribusi terhadap penguatan rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Faktor kedua adalah harga minyak yang terus turun. Secara point-to-point, harga minyak jenis brent amblas 11,91% sementara light sweet jatuh 10,69%. Harga si emas hitam menyentuh titik terendah sejak Oktober 2017. 

 

Kekhawatiran kelebihan pasokan jadi pemberat harga minyak. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi kelebihan pasokan sekitar 1,4 juta barel/hari pada 2019. 

Kelebihan pasokan itu justru terjadi saat perekonomian melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global pada 2019 tumbuh 3,7%, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. 

Kombinasi kelebihan suplai plus perlambatan ekonomi adalah kartu mati buat harga minyak. Harga pasti akan turun, dan mungkin bertahan cukup lama. 

Bagi rupiah, koreksi harga minyak justru menjadi berkah. Status Indonesia sebagai negara net importir migas membuat beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) semakin berat kala harga minyak naik. 

Ketika harga minyak turun, biaya impor juga akan menurun. Artinya beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan berkurang, sehingga jumlah devisa yang 'terbang' akibat impor minyak ikut menurun. Ini akan menjadi modal bagi rupiah untuk lebih stabil, bahkan bukan tidak mungkin terus menguat.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular