Kado Akhir Pekan Buat Indonesia: Rupiah Terbaik di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 November 2018 16:44
Kado Akhir Pekan Buat Indonesia: Rupiah Terbaik di Asia
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat di perdagangan pasar spot akhir pekan ini. Performa rupiah cukup apik karena tidak pernah menyentuh zona merah seharian, dan menjadi mata uang dengan penguatan terbaik di Asia. 

Pada Jumat (23/11/2018), US$ 1 saat penutupan pasar spot setara dengan Rp 14.535. Rupiah menguat 0,27% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya. 

Mengawali hari, rupiah menguat 0,17%. Selepas itu gerak rupiah sempat sepi, tidak ada dinamika yang signifikan. 


Jelang tengah hari rupiah mulai masuk jalur pendakian. Penguatan rupiah semakin menjadi, dan dolar AS sudah mendekati kisaran Rp 14.400. 

Namun seusai tengah hari, depresiasi rupiah menipis. Meski begitu, rupiah tetap lancar berjalan di jalur hijau tanpa hambatan berarti. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hari ini: 

 

Walau penguatan rupiah berkurang, tetapi mata uang Tanah Air tetap eksepsional. Apresiasi 0,27% sudah cukup mengantar rupiah menjadi mata uang dengan penguatan tertajam di Asia. Di hadapan dolar AS, tidak ada mata uang Benua Kuning yang menguat setinggi rupiah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:07 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Setidaknya ada dua bahan baku utama keperkasaan rupiah hari ini. Pertama adalah derasnya arus modal di pasar keuangan Indonesia, utamanya di pasar obligasi. 

Masuknya arus modal terlihat dari penurunan imbal hasil (yield), pertanda harga obligasi sedang naik akibat tingginya permintaan. Pada pukul 16:11 WIB, hampir seluruh yield obligasi pemerintah tenor acuan bergerak turun. 

 

Meski sudah lebih dari seminggu, investor masih mengapresiasi langkah Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6%. Sejak Mei, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah naik 175 basis poin. 

BI mengakui bahwa tujuan utama kenaikan suku bunga acuan adalah membuat pasar keuangan lebih atraktif. Sebab kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan ikut mengerek imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. 

Dilatarbelakangi pencarian cuan, investor terus masuk ke pasar obligasi pemerintah. Per 21 November, nilai kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah Indonesia adalah Rp 889,21 triliun. Naik 6,23% dibandingkan posisi awal tahun. 

Ke depan, bukan tidak mungkin BI akan tetap mengedepankan sikap (stance) moneter yang ketat alias hawkish. Sebab, pada 2019 sepertinya The Federal Reserve/The Fed masih akan melanjutkan siklus kenaikan suku bunga acuan. Pelaku pasar memperkirakan setidaknya ada tiga kali kenaikan Federal Funds Rate tahun depan. 

Tidak hanya The Fed, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) pun diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuan paling cepat musim panas (tengah tahun) 2019. Selamat tinggal suku bunga rendah, selamat datang di era normal baru yaitu suku bunga tinggi.  

Apabila BI tidak mengikuti tren ini, maka pelaku pasar berpotensi akan meninggalkan Indonesia. Oleh karena itu, kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sepertinya masih akan terjadi tahun depan. Imbal hasil hasil obligasi pun bisa terus terkerek sehingga semakin menggiurkan. 

Melihat potensi itu, pelaku pasar berbondong-bondong terus masuk ke pasar obligasi pemerintah Indonesia. Derasnya arus modal itu berkontribusi terhadap penguatan rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Faktor kedua adalah harga minyak yang terus turun. Pada pukul 16:22 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,85% sementar light sweet amblas 2,27%. Harga si emas hitam menyentuh titik terendah sejak Februari 2017. 

 

Kekhawatiran kelebihan pasokan jadi pemberat harga minyak. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi kelebihan pasokan sekitar 1,4 juta barel/hari pada 2019. 

Kelebihan pasokan itu justru terjadi saat perekonomian melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global pada 2019 tumbuh 3,7%, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.

Kombinasi kelebihan suplai plus perlambatan ekonomi adalah kartu mati buat harga minyak. Harga pasti akan turun, dan mungkin bertahan cukup lama. 

Bagi rupiah, koreksi harga minyak justru menjadi berkah. Status Indonesia sebagai negara net importir migas membuat beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) semakin berat kala harga minyak naik. 

Ketika harga minyak turun, biaya impor juga akan menurun. Artinya beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan berkurang, sehingga jumlah devisa yang 'terbang' akibat impor minyak ikut menurun. Ini akan menjadi modal bagi rupiah untuk lebih stabil, bahkan bukan tidak mungkin terus menguat. 

Dua sentimen positif tersebut, yaitu arus modal di pasar obligasi dan penurunan harga minyak, mampu mendongrak rupiah. Bahkan rupiah mampu menjadi yang terbaik di Asia. Penguatan rupiah hari ini menjadi kado akhir pekan yang manis.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular