Harga Minyak Anjlok Lagi ke Level Terendah Sejak Oktober 2017

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
23 November 2018 10:44
Pada perdagangan hari ini  hingga pukul 10.12 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 1,47% ke level US$ 61,68/barel.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari ini Jumat (23/11/2018) hingga pukul 10.12 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 1,47% ke level US$ 61,68/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 amblas 2,76% ke level US$ 53,12/barel.

Harga minyak kembali terjun bebas pasca kemarin juga tertekan cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Kamis (22/11/2018), harga harga brent yang menjadi acuan di Eropa jeblok 1,39%. Dengan hari ini lanjut melemah dalam, harga minyak Benua Biru tersebut  jatuh ke level terendahnya sejak awal Desember 2017.

Sementara, perdagangan minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) diliburkan kemarin menyusul perayaan Thanksgiving. Namun, dengan pergerakannya hari ini, harga light sweet kembali mendekati level terendahnya sejak akhir Oktober 2017.

Sentimen negatif masih membayangi pergerakan harga sang emas hitam pada hari ini, utamanya datang dari pasokan minyak mentah di pasar global yang masih cenderung oversupply. Selain itu, kemesraan Arab Saudi-AS pun masih menjadi pemberat pergerakan harga.



Mengutip data dari Departemen Energi AS (Energy Information Administration/EIA), cadangan minyak mentah komersial AS tercatat meningkat 4,9 juta barel pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari ekspektasi analis yakni peningkatan sebesar 2,9 juta barel. Total cadangan sekarang mencapai 446,91 juta barel, level tertinggi sejak Desember 2017.

Adapun produksi minyak mentah mingguan AS juga masih tetap stabil di 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.

Tidak hanya dari Negeri Paman Sam, top produsen lainnya juga tercatat masih menaikkan produksinya.  Dari Russia, produksi minyak telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Kini tiga produsen minyak terbesar dunia, yakni AS, Russia, dan Saudi, telah memproduksi 100 juta barel/hari secara total. Jumlah itu merupakan yang tertinggi di sepanjang sejarah, sekaligus memenuhi sepertiga konsumsi minyak dunia.

Di saat pasokan membanjir, permintaan juga diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.

Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh. 

Selain itu, mesin pertumbuhan ekonomi dunia memang sedang pincang. AS boleh dibilang menjadi satu-satunya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju kencang sementara Eropa, Jepang, China, dan negara-negara berkembang malah melambat.  

Pekan lalu, bank AS Morgan Stanley bahkan menyatakan bahwa "kondisi ekonomi China memburuk secara material" pada kuartal III-2018.

Kemudian, pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal-III 2018 diumumkan sebesar -1,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih buruk dari estimasi pelaku pasar yakni minus 1% saja. Kontraksi ini disebabkan oleh ekspor yang turun 1,8%, penurunan terdalam dalam lebih dari 3 tahun terakhir. Sementara investasi terkontraksi 0,2%, pertama kali dalam 2 tahun.

Saat ekonomi global melambat dan berjalan dengan satu mesin, maka permintaan energi juga akan berkurang. Saat permintaan menurun tapi pasokan membanjir, jelas kondisi pasar akan mengalami oversupply. Tak pelak, harga pun masih berada di dalam tekanan.

Sebenarnya, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel pada pertemuan 6 Desember mendatang, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.

Nampaknya OPEC mulai gelisah terhadap kondisi pasar yang kelebihan pasokan, dan akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Sayangnya, pelaku pasar nampaknya masih meragukan aksi OPEC ini. Ada 2 hal yang menjadi alasan.

Pertama, Iran (yang merupakan salah satu anggota OPEC) diekspektasikan tidak mau terlibat dari aksi pemangkasan produksi tersebut. Padahal, Iran merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di dalam kartel minyak itu.

Tidak hanya Iran, Russia (yang secara de facto memimpin mitra produsen non-OPEC) juga belum memberikan sinyal akan bergabung di dalam kesepakatan pemangkasan tersebut.

Kedua, kemesraan AS dengan Arab Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC), membuat investor pesimis bahwa rencana pemangkasan itu akan terealisasi. 

BACA: Gara-Gara Donald Trump, Harga Minyak Turun Lagi

Donald Trump menyatakan bahwa AS tetap berniat menjadi "mitra yang loyal" dari Saudi, meskipun "mungkin saja" Pangeran Saudi Mohammed bin Salman terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.

Tidak hanya itu, kemarin lusa Trump kembali memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.

"Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!"

Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC akhirnya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global.

Akibat dua alasan di atas, pelaku pasar lantas berekspektasi bahwa kondisi oversupply di pasar pun tidak dapat terhindarkan. Hal ini sukses menyeret  harga minyak kembali ke jurang kehancuran pada hari ini. 

(TIM RISET CNBC INDONESIA)  



(RHG/RHG) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular