
Gara-Gara Donald Trump, Harga Minyak Turun Lagi
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 November 2018 10:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini Kamis (22/11/2018) hingga pukul 10.00 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 turun 0,44% ke level US$ 63,20/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 melemah 0,42% ke level US$ 54,4/barel.Harga sang emas hitam kembali melemah pasca kemarin mampu rebound cukup tinggi.
Pada penutupan perdagangan hari Rabu (21/11/2018), harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) naik 2,25%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa menguat 1,52%. Kemarin, harga minyak mampu pulih, setelah sehari sebelumnya kompak amblas di kisaran 6%.
Pemulihan harga minyak kemarin didukung oleh permintaan yang kuat dari pengilangan minyak di AS serta prospek pemangkasan produksi oleh sejumlah negara produksi.
Meski demikian, komentar Presiden AS Donald Trump terkait harga minyak dan Arab Saudi, plus peningkatan cadangan dan produksi minyak mentah AS, justru mengembalikan harga minyak ke zona merah hari ini.
Mengutip data dari Departemen Energi AS (Energy Information Administration/EIA), cadangan minyak mentah di Cushing (Oklahoma), yang merupakan pusat pengiriman minyak mentah AS, turun 116.000 barel pada pekan lalu. Penurunan ini menjadi yang pertama kalinya dalam 9 pekan terakhir.
Sementara itu, di periode yang sama, stok bahan bakar minyak (BBM) di Negeri Paman Sam juga turun 1,3 juta barel ke level terendahnya sejak Desember 2017. Adapun, cadangan distilat juga berkurang 77.000 barel. Meningkatnya aktivitas pengilangan lantas menjadi sinyal bahwa permintaan minyak di AS masih cukup sehat.
Kedua data di atas lantas menjadi bahan bakar pemulihan harga minyak pada perdagangan kemarin. Sayangnya, ada data lain yang diumumkan EIA, yang justru menjadi pemberat harga sang emas hitam pada hari ini.
Cadangan minyak mentah komersial AS masih tercatat meningkat 4,9 juta barel pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari ekspektasi analis yakni peningkatan sebesar 2,9 juta barel. Total cadangan sekarang mencapai 446,91 juta barel, level tertinggi sejak Desember 2017.
Adapun produksi minyak mentah mingguan AS juga masih tetap stabil di 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.
Peningkatan cadangan dan produksi minyak mentah AS lantas menjadi sinyal bahwa pasokan dunia masih akan membanjir. Hal ini kemudian menjadi pemberat harga minyak pada hari ini.
Bicara mengenai pasokan global, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia, dan mitra produsen non-OPEC lainnya, dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel pada pertemuan 6 Desember mendatang, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.
Kabar ini lantas turut menjadi angin segar bagi harga minyak pada perdagangan kemarin. Sayang, angin segar tersebut sudah berlalu pada hari ini. Kemesraan AS dengan Arab Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC), membuat investor pesimis bahwa rencana pemangkasan itu akan terealisasi.
Donald Trump menyatakan bahwa AS tetap berniat menjadi "mitra yang loyal" dari Saudi, meskipun "mungkin saja" Pangeran Saudi Mohammed bin Salman terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Tidak hanya itu, kemarin Trump kembali memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.
"Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!"
BACA: Harga Minyak Turun Tajam, Trump: Terima Kasih Arab Saudi!
Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC dan mitra-mitranya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global. Akibatnya, kondisi pasar yang diramal oversuplai pada tahun depan tidak dapat terhindarkan. Hal ini sukses menjadi beban tambahan bagi harga minyak hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Pada penutupan perdagangan hari Rabu (21/11/2018), harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) naik 2,25%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa menguat 1,52%. Kemarin, harga minyak mampu pulih, setelah sehari sebelumnya kompak amblas di kisaran 6%.
Pemulihan harga minyak kemarin didukung oleh permintaan yang kuat dari pengilangan minyak di AS serta prospek pemangkasan produksi oleh sejumlah negara produksi.
Mengutip data dari Departemen Energi AS (Energy Information Administration/EIA), cadangan minyak mentah di Cushing (Oklahoma), yang merupakan pusat pengiriman minyak mentah AS, turun 116.000 barel pada pekan lalu. Penurunan ini menjadi yang pertama kalinya dalam 9 pekan terakhir.
Sementara itu, di periode yang sama, stok bahan bakar minyak (BBM) di Negeri Paman Sam juga turun 1,3 juta barel ke level terendahnya sejak Desember 2017. Adapun, cadangan distilat juga berkurang 77.000 barel. Meningkatnya aktivitas pengilangan lantas menjadi sinyal bahwa permintaan minyak di AS masih cukup sehat.
Kedua data di atas lantas menjadi bahan bakar pemulihan harga minyak pada perdagangan kemarin. Sayangnya, ada data lain yang diumumkan EIA, yang justru menjadi pemberat harga sang emas hitam pada hari ini.
Cadangan minyak mentah komersial AS masih tercatat meningkat 4,9 juta barel pada pekan lalu. Capaian itu lebih tinggi dari ekspektasi analis yakni peningkatan sebesar 2,9 juta barel. Total cadangan sekarang mencapai 446,91 juta barel, level tertinggi sejak Desember 2017.
Adapun produksi minyak mentah mingguan AS juga masih tetap stabil di 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.
Peningkatan cadangan dan produksi minyak mentah AS lantas menjadi sinyal bahwa pasokan dunia masih akan membanjir. Hal ini kemudian menjadi pemberat harga minyak pada hari ini.
Bicara mengenai pasokan global, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia, dan mitra produsen non-OPEC lainnya, dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel pada pertemuan 6 Desember mendatang, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.
Kabar ini lantas turut menjadi angin segar bagi harga minyak pada perdagangan kemarin. Sayang, angin segar tersebut sudah berlalu pada hari ini. Kemesraan AS dengan Arab Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC), membuat investor pesimis bahwa rencana pemangkasan itu akan terealisasi.
Donald Trump menyatakan bahwa AS tetap berniat menjadi "mitra yang loyal" dari Saudi, meskipun "mungkin saja" Pangeran Saudi Mohammed bin Salman terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
Tidak hanya itu, kemarin Trump kembali memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.
"Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!"
BACA: Harga Minyak Turun Tajam, Trump: Terima Kasih Arab Saudi!
Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC dan mitra-mitranya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global. Akibatnya, kondisi pasar yang diramal oversuplai pada tahun depan tidak dapat terhindarkan. Hal ini sukses menjadi beban tambahan bagi harga minyak hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular