Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan penguatan sebesar 2,35%. Faktor domestik dan eksternal sama-sama berkontribusi dalam mendorong penguatan bursa saham tanah air.
Memasuki pekan yang baru, perdagangan dipastikan tidak akan berlangsung mudah. Pasalnya, kali terakhir ditutup di atas level psikologis 6.000 (31 Agustus 2018), IHSG anjlok 5,57% hanya dalam waktu 3 hari, dari level 6.018,46 menjadi 5.683,5.
Permasalahan terkait dengan level psikologis dan aksi ambil untung mengintai jalannya perdagangan sepanjang minggu depan.
Kini, Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen eksternal yang berpotensi membawa IHSG meninggalkan level 6.000.
Secara mendadak, investor menjadi skeptis bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan menaikkan suku bunga acuan pada bulan depan.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 17 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 65,4%, lebih rendah dari posisi tanggal 16 November 2018 yang sebesar 68,9%.
Jika dibandingkan dengan posisi 1 minggu sebelumnya, nilainya turun lebih jauh. Sepekan yang lalu, probabilitasnya berada di level 75,8%. Bahkan, satu bulan yang lalu nilanya adalah sebesar 81%.
Ada 2 hal utama yang membuat pelaku pasar tak yakin bahwa perekonomian AS masih ‘sepanas’ periode-periode sebelumnya, sehingga suku bunga acuan tak perlu dikerek pada Desember nanti. Pertama, komentar dari Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell.
Dalam sesi tanya jawab dalam sebuah acara di Dallas pada 14 November lalu, Powell mengakui bahwa perekonomian global tidak bertumbuhan dengan laju yang sama pada tahun sebelumnya. Ia menambahkan bahwa laju pertumbuhan ekonomian global secara perlahan melambat, walaupun itu bukan merupakan perlambatan yang parah.
Lebih lanjut, data ekonomi terbaru yang dirilis di Negeri Paman Sam menunjukkan adanya kontraksi dari sisi produksi. Pada hari Jumat (16/11/2018), data pertumbuhan produksi industri periode Oktober 2018 diumumkan melemah sebesar 0,1% MoM, meleset dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,2% MoM, seperti dikutip dari Forex Factory.
Perubahan persepsi mengenai kenaikan Fed Funds Rate (FFR) merupakan hal yang bisa membawa dampak negatif bagi IHSG. Jika minggu depan investor kembali yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada bulan Desember, maka pasar saham dalam negeri bisa terkoreksi lantaran investor akan mengonversi dananya menjadi dolar AS.
Sebaliknya, jika pelaku pasar masih saja skeptis, pasar saham dalam negeri juga bisa tertekan, lantaran perekonomian AS akan dianggap berada dalam tekanan yang besar hingga memaksa bank sentralnya menunda rencana kenaikan suku bunga acuan. Ketika perekonomian AS melambat, pastilah perkeonomian dari negara-negara mitra dagangnya seperti Indonesia akan ikut terdampak. Perkembangan mengenai perang dagang AS-China yang positif membuat IHSG berhasil membukukan pengutan pada pekan ini. Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa AS dan China sudah memulai kembali dialog perdagangan pada semua level pemerintahan.
Tidak ada kepastian bahwa China akan mengikuti permintaan dari AS namun “lebih baik berbicara daripada tidak,” papar Kudlow ketika diwawancarai oleh CNBC International pada hari Selasa (13/11/2018).
Namun menjelang akhir pekan, sebuah kabar tidak sedap muncul. Financial Times sempat menyebut bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer telah bertemu dengan para pengusaha dan berjanji untuk menunda pengenaan bea masuk baru kepada China untuk sementara.
Kantor Perwakilan Dagang AS kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyanggah kabar tersebut.
"Tidak ada kehadiran beliau di hadapan para pengusaha dan menyatakan bahwa pengenaan bea masuk ditunda. Kerangka bea masuk masih sesuai dengan rencana. Laporan yang menyebutkan sebaliknya adalah tidak benar,” tegas pernyataan tersebut.
Sebagai informasi, pada September 2018 AS resmi mengenakan bea masuk 10% atas importasi produk asal China senilai US$ 200 miliar. Presiden AS Donald Trump kemudian mengancam akan mengenakan bea masuk baru lainnya yang menyasar importasi produk China senilai US$ 267 miliar. Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan apa yang dialami Perdana Menteri Inggris Theresa May dalam memimpin proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Pasca ditinggal Menteri Urusan Brexit Dominic Raab yang mengundurkan diri dari posisinya pada hari Kamis (15/11/2018), Perdana Menteri Inggris Theresa May kini justru berpotensi dilengserkan dari posisinya.
Melansir The Guardian, sebanyak 23 Member of Parliament (MP) dari Partai Konservatif yang merupakan partai Pimpinan May telah secara terbuka mengatakan bahwa mereka telah mengirimkan surat yang isinya meminta pemungutan suara atas mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan May.
Sebanyak 48 surat dibutuhkan untuk melakukan pemungutan suara tersebut. Besar kemungkinan, jumlah MP yang mengirimkan surat terus bertambah pada minggu depan dan membuat masa depan May menjadi benar-benar di ujung tanduk.
Jika May sampai dilengserkan, nasib Brexit bisa menjadi kian tidak jelas. Pada akhirnya, perekonomian Inggris dan Uni Eropa menjadi taruhannya. Masih dari Benua Biru, risiko juga datang dari permasalahan mengenai rancangan anggaran pemerintah Italia. Seperti yang diketahui, beberapa waktu yang lalu Komisi Eropa menolak rencana fiskal pemerintah Italia lantaran target defisit yang menyalahi aturan main.
Untuk tahun depan, defisit struktural (perbedaan antara belanja dan penerimaan, tidak termasuk pos-pos one-off) ditargetkan naik sebesar 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di bawah aturan Uni Eropa, Italia diwajibkan mengurangi defisit struktural sebesar 0,6% dari PDB.
Namun, Italia tetap kekeh dengan pendiriannya dan mengirimkan ulang rancangan anggaran tahun 2019 tanpa melakukan revisi terhadap pos defisit struktural.
Komisi Eropa dijadwalkan memberikan komentar terkait rancangan anggaran tersebut pada tanggal 21 November. Teka-teki seputar tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi kian terungkap. Lembaga intelijen Amerika Serikat (AS) yakni Central Intelligence Agency (CIA) mengatakan bahwa Putra Mahkoda Arab Saudi Mohammed bin Salman bersalah atas tewasnya Khashoggi.
Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa temuan CIA tersebut “mungkin (benar)”.
Sejauh ini, hubungan AS dan Saudi Arabia bisa dibilang masih relatif cair. Namun, bukan tak mungkin jika pada akhirnya Trump dipaksa bersikap luar biasa tegas dengan memutus kerja sama yang sudah terjalin antar keduanya, di bidang perdagangan senjata misalnya.
Jika ini yang terjadi, tensi geopolitik dunia akan memanas dan membuat investor meninggalkan instrumen berisiko seperti saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA