Rupiah Menuju 3 Hari Beruntun Terlemah di Asia?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 November 2018 09:41
Rupiah Menuju 3 Hari Beruntun Terlemah di Asia?
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Malang betul nasib rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah terus melemah dan lagi-lagi jadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Jika situasi ini berlanjut sampai pasar ditutup, maka akan menjadi hari ketiga beruntun rupiah menempati dasar klasemen mata uang Benua Kuning. 

Pada Selasa (13/11/2018) pukul 09:10 WIB, US$ 1 di pasar spot setara dengan Rp 14.895. Rupiah melemah 0,57% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Mengawali hari, rupiah sudah terdepresiasi 0,17%. Selepas itu, pelemahan rupiah malah semakin menjadi. 


Sebetulnya pelemahan rupiah hari ini sudah bisa dibaca sebelum pasar spot dibuka. Pasalnya, tanda-tanda koreksi rupiah sudah terlihat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). 


Nasib rupiah tambah nelangsa karena saat ini beberapa mata uang Asia mulai bisa menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya yuan China, dolar Taiwan, rupee India, dan ringgit Malaysia yang masih terkulai lesu. Sisanya mampu membalikkan keadaan dengan mencetak apresiasi.
 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 09:14 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS yang sempat melaju kencang kini mulai menginjak pedal rem. Pada pukul 09:19 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama) masih menguat, tetapi tinggal 0,02%. Sangat tipis. 

Sinyal bearish bagi dolar AS datang dari penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Untuk tenor 10 tahun, yield turun 3,6 basis poin (bps). Yield instrumen ini turun drastis dalam 2 hari perdagangan terakhir setelah menanjak cukup tajam sejak akhir Oktober. 



Saat yield di pasar sekunder turun, maka kupon dalam lelang obligasi berikutnya juga berpotensi turun. Lelang terdekat adalah pada tengah malam nanti waktu Indonesia, yaitu untuk tenor jangka pendek 4 pekan, 8 pekan, 13 pekan, dan 26 pekan. Target indikatif dalam lelang ini adalah US$ 164 miliar. 

Jika ada potensi penurunan kupon, maka bisa jadi lelang akan kurang semangat. Artinya permintaan dolar AS pun tidak akan membludak karena investor malas-malasan untuk membeli obligasi pemerintahan Presiden Donald Trump. Hasilnya adalah laju penguatan dolar AS melambat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun rupiah belum mampu memanfaatkan peluang ini. Kemungkinan investor masih dihantui data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang jeblok pada kuartal III-2018. 


Rilis data terdekat dalam waktu dekat adalah neraca perdagangan dan pengumuman suku bunga acuan, keduanya diumumkan pada 15 November. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2018 mencatat surplus tipis US$ 167,5 juta. Sementara BI diperkirakan masih menahan 7 Day Reverse Repo Rate di 5,75%. 

Apabila neraca perdagangan kembali mencetak surplus, maka bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah. Akan ada persepsi bahwa pasokan valas dari perdagangan cukup memadai, sehingga rupiah punya alasan untuk menguat. 

Namun sebelum data itu dirilis, sepertinya rupiah harus bersabar. Sebab data NPI, khususnya transaksi berjalan (current account), sepertinya masih akan membebani langkah mata uang Tanah Air.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular