
Banjir Sentimen Negatif, Pelemahan Rupiah Terdalam di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 November 2018 09:33

Banyak faktor yang membuat langkah rupiah begitu berat. Dari AS, greenback mendapat kekuatan dari hasil rapat The Federal Reserve/The Fed. Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Bahkan The Fed menyebut ada risiko perlambatan investasi di Negeri Paman Sam.
Namun risiko tersebut tidak menyurutkan niat bank sentral AS untuk tetap dalam mode pengetatan kebijakan moneter. Dalam pernyataan tertulisnya, The Fed menyebut siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan The Fed.
Pelaku pasar pun mendapatkan petunjuk yang lebih jelas mengenai potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat 19 Desember adalah 75,8%. Naik dibandingkan posisi kemarin yaitu 74,6% dan seminggu yang lalu sebesar 68,8%.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya semakin kuat.
Sementara dari regional, data ekonomi China yang sempat impresif kembali menjadi sentimen negatif. Biro Statistik Nasional China menyebutkan, inflasi produsen pada Oktober 2015 tercatat 3,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha China mengalami penurunan gairah. Salah satunya akibat perang dagang dengan AS, yang merupakan negara tujuan ekspor utama Negeri Tirai Bambu.
Saat produk China makin sulit masuk ke Negeri Adidaya karena berbagai bea masuk, industri dalam negeri pun kesulitan. Geliat industri berkurang, sehingga kenaikan harga tidak secepat sebelumnya.
China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China melambat, maka ada risiko menurunkan aktivitas para tetangganya termasuk Indonesia.
Kemudian dari dalam negeri, sentimen pemberat rupiah adalah persepsi pasar terhadap rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Data ini memang kemungkinan besar baru keluar setelah pasar tutup, tetapi pasar sudah terlanjur berekspektasi ada pelemahan yang lebih dalam ketimbang kuartal II-2018, terutama di pos transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan defisit pada kuartal III-2018 akan lebih dalam, karena neraca perdagangan mengalami tekor yang lebih parah.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.
Saat defisit transaksi berjalan melebar cukup parah, rupiah tentunya akan kehilangan pijakan untuk bisa menguat. Ini menjadi alasan kuat bagi investor untuk melepas aset-aset berbasis rupiah sehingga depresiasi menjadi sulit terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun risiko tersebut tidak menyurutkan niat bank sentral AS untuk tetap dalam mode pengetatan kebijakan moneter. Dalam pernyataan tertulisnya, The Fed menyebut siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan The Fed.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya semakin kuat.
Sementara dari regional, data ekonomi China yang sempat impresif kembali menjadi sentimen negatif. Biro Statistik Nasional China menyebutkan, inflasi produsen pada Oktober 2015 tercatat 3,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,6%.
Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha China mengalami penurunan gairah. Salah satunya akibat perang dagang dengan AS, yang merupakan negara tujuan ekspor utama Negeri Tirai Bambu.
Saat produk China makin sulit masuk ke Negeri Adidaya karena berbagai bea masuk, industri dalam negeri pun kesulitan. Geliat industri berkurang, sehingga kenaikan harga tidak secepat sebelumnya.
China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China melambat, maka ada risiko menurunkan aktivitas para tetangganya termasuk Indonesia.
Kemudian dari dalam negeri, sentimen pemberat rupiah adalah persepsi pasar terhadap rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Data ini memang kemungkinan besar baru keluar setelah pasar tutup, tetapi pasar sudah terlanjur berekspektasi ada pelemahan yang lebih dalam ketimbang kuartal II-2018, terutama di pos transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan defisit pada kuartal III-2018 akan lebih dalam, karena neraca perdagangan mengalami tekor yang lebih parah.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.
Saat defisit transaksi berjalan melebar cukup parah, rupiah tentunya akan kehilangan pijakan untuk bisa menguat. Ini menjadi alasan kuat bagi investor untuk melepas aset-aset berbasis rupiah sehingga depresiasi menjadi sulit terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular